Selasa, 24 Maret 2015

Sertifikasi Kompetensi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Industri Pariwisata Dalam Menyambut Mea 2015

BABI
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pertumbuhana ekonomi suatu Negara merupakan hal yang sangat penting dicapai karena setiap Negara menginginkan adanya proses perubahan perekonomian yang lebih baik dan ini akan menjadi indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu Negara. Dalam hal mempercepat pertumbuhan ekonomi ada banyak hal yang menjadi jalan keluar agar dapat memacu pertumbuhan tersebut, mulai dari melakukan pembenahan internal kondisi perekonomian disuatu Negara bahkan sampai melakukan kerjasama intenasional dalam segala bidang untuk dapat memberikan kontribusi positif demi percepatan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan naik turun dari tahun ke tahun, pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,2 persen, dan pada tahun ini perekonomian Indonesia mengalami penurunan yaitu sekitar 5,78 persen dibandingkan tahun 2012, (Badan Pusat Statistik, 2014). Hal ini disebabkan oleh tekanan pada transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah yang dibarengi dengan laju inflasi. Tekanan pada transaksi berjalan yang mengalami deficit selama tiga kuartal terakhir mendorong peningkatan suku bunga acuan sehingga menekan investasi. Meski defisit transaksi berjalan menurun sidnifikan dari USD 8,5 miliar pada kuartal sebelumnya menjadi USD 4 miliar pada kuartal IV-2013.
Menurut Adityo (2014) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu faktor sumber daya manusia, faktor sumber daya alam, faktor ilmu pengetahuan dan teknologi, faktor budaya, dan faktor daya modal. Lalu kita dapat melihat bagaimana kelima faktor tersebut sudah secara maksimal dikelola, faktanya ada beberapa Negara di kawasan Asai Tenggara yang msih terbelakang dalam pengelolaan beberapa faktor tersebut walaupun kita juga dapat melihat beberapa Negara lainnya sudah cukup mampu mengelola dengan baik. Jika melihat bagaimana Indonesia mengelola kelima faktor tersebut. Beberapa faktor belum dapat dimaksimalkan untuk itu Indonesia dan sembilan Negara lainnya membentuk ASEAN Community 2015 atau komunitas ASEAN 2015.
ASEAN merupakan suatu organisasi perkumpulan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Pada tahun 2015, ASEAN merencanakan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan adanya MEA tersebut, maka akan tercipta suatu pasar besar kawasan ASEAN yang akan berdampak besar terhadap perekonomian Negara anggotanya.
Indonesia sendiri dalam menghadapi gerakan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, pemerintah terus melakukan persiapan dan perbaikan untuk dapat meningkatkan daya saing Indonesia termasud dalam bidang Sumber Daya Manusia (SDM).  Sektor pariwisata Indonesia dinilai menjadi sektor yang paling siap menghadapi MEA 2015 dari sisi sumber daya manusia. Wakil ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), sumarna Abdurahman yang dikutip di Beritadaerah.co.id mengatakan jika sumber daya manusia bidang pariwisata paling siap bersaing karena memiliki lembaga sertifikasi yang mempuni.
Pada saat ini standar pengembangan sertifikasi yang diterapkan oleh asosiasi pariwisata di dalam negeri telah menjadi acuan bagi asosiasi bisnis pariwisata di tingkat ASEAN. Hal tersebut didorong oleh keunggulan dari Asosiasi Pariwisata Indonesia dalam strandar kompetensi profesi bidang pariwisata sehingga dicontoh oleh asosiasi lainnya.

1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015?
2.      Bagaimanakan Peran Sertifikasi Kompetensi Dalam Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Pariwisata?

1.2  Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dan bagaimana Peran Sertifikasi Kompetensi Dalam Upaya Perlindungan Hukum BAgi Tenaga Kerja Industri Pariwisata Dalam Menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

1.3 Metedologi Penulisan
Penulisan ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dikemukakakan diatas, serta kajian literature dari berbagai sumber informasi dan data yang penulis peroleh sebagai acuan atau pedoman dalam menganalisis permasalahan-permasalahan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial Complementation scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures scheme (1983), dan Enhanced Preferential Trading arrangement (1987). Pada dekade 80-an dan 90-an, ketika negara-negara di berbagai belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama adalah dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan suatu komunitas Negara-negara ASEAN yang sangat luas, tidak ada batasan-batasan wilayah dalam bidang perekonomian. Diaman suatu Negara dapat masuk bebas dalam persaingan pasar. “Masyarakat Ekonomi ASEAN yang bebas dari berbagai hambatan, pengutamaan peningkatan konektivitas, pemanfaatan berbagai skema kerja sama baik intra-ASEAN maupun antara ASEAN dengan Negara mitra khususnya mitra FTA, serta penguatan peran UKM dalam proses integrasi internal ASEAN maupun dengan Negara mitra”.
Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah salah satu pilar-pilar impian Masyarakat ASEAN yang dicetuskan dalam kesepakan Bali Concord II. ASEAN berharap dapat membentuk sebuah pasar tunggal dan basis produksi sebelum tahun 2015. Artinya sebelum tahun 2015, pergerakan barang, jasa, investasi, dan buruh terampil di ASEAN akan dibuka dan diliberalisasi sepenuhnya, sementara aliran modal akan dikurangi hambatannya. Masih ada keleluasaan, pengecualian dan hambatan-hambatan (khususnya dalam aliran uang dan modal) dalam liberalisasi ini, dan para anggota yang belum siap untuk meliberalisasi sektor  jasa mereka dapat memilih menunda pembukaan sektor tersebut. Namun, tujuan startegis dan komitmenya adalah menyingkirkan semua hambatan dan pengecualian ini, serta seluruh Anggota harus memiliki komitmen yang sama.
Secara umum MEA memiliki 12 sektor prioritas, yakni: produk-produk berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata, dan logistik. Inilah sector-sektor yang paling diminati, anggota ASEAN, dan menjadi ajang mereka untuk bersaing satu sama lain. Gagasannya adalah jika sektor-sektor ini diliberalisasikan secara penuh, sektor-sektor ini akan berintegrasi (menyatu) anggota ASEAN akan mengembangkan keunggulan sektor-sektor ini dengan menarik investasi dan perdagangan di dalam ASEAN (contohnya dengan saling melakukan outsourching) serta membantu mengembangkan produk-poduk buatan ASEAN. Selain itu dilakukan pengembangan terhadap sektor prioritas pangan, pertanian dan kehutanan.

2.2  Tujuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Pembentukan masyarakat ekonomi ASEAN tersebut bertujuan untuk meningtakan kesejahteraan seluruh anggota ASEAN sehingga mampu menghadapi persaingan pada lingkup regional dan global. Hal ini merupakan suatu kemajuan yang sangat nignifikan sebagai respon terhadap care of human security yang mencangkup keamana ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, dan keamanan politik.
Indonesia akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, dimana dengan tujuan yang baik itu diharapkan mampu membawa perubahan untuk pertumbuhan ekonomi di Indonesia agar lebih baik. Apabila kita melihat lebih jauh dibalik tujuan utnuk meningkatkan stabilitas perekonomian antar Negara ASEAN artinya sisi lain yang dapat kita lihat bahwa sama saja seperti meliberalisasikan arus barang, tenaga kerja, investasi dan modal. Liberalisasi arus barang artinya akan menjadi pengurangan dan penghilangan hambatan tariff. Liberalisasi modal akan dilakuakn dengan meniadakan aturan administrasi yang menghambat penanaman modal, artinya semua orang yang masuk kawasan ASEAN dapat menanamkan modalnya dinegara ASEAN secara lebih mudah. Selain itu adanya liberalisasi tenaga kerja dimana kita bebas mencari lapangan pekerjaan tidak hanya di dalam negeri melainkan dikawasan ASEAN.

2.3  Sertifikasi Profesi di Bidang Pariwisata
Menurut Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2012 tentang sertifikasi kompetensi dan sertifikasi usaha di bidang pariwisata bahwa Sertifikasi Kompetensi di Bidang Pariwisata adalah proses pemberian sertifikat kompetensi di bidang kepariwisataan yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, standar internasional dan/atau standar khusus.
Mengacu pada UU No. 10 2009 Tentang Kepariwisataan bahwa mulai Tahun 2014 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mewajibkan para pekerja pariwisata untuk menguji kompetensi dan Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi di Bidang Pariwisata, yang menyatakan pengusaha pariwisata wajib memperkejakan tenaga kerja yang telah memiliki Sertikat Kompetensi di Bidang Pariwisata.

2.4  Kesiapan Indonesaia Dalam Menghadapai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
Sebagai salah satu dari tiga pilar utama ASEAN community 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dibentuk dengan misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan Negara-negara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi Negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang dimana di dalamnya terdapat aspek ekonomi, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah Internasional. Terwujudnya komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak, sehingga terjadi suatu dialog antar sektor yang dimana nantinya juga saling melengkapi diantara para stakeholder sektor ekonomi di Negara-negara ASEAN ini sangat penting. Misalnya untuk infrastruktur, di Indonesia masih sangat membutuhkan, baik itu berupa jalan raya, bandara, pelabuhan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kita dapat memperoleh manfaat dari saling tukar pengalaman dengan anggota ASEAN lainnya.
Menurut Sulung DKK (2013) mengatakan bahwa peluang Indonesia untuk dapat bersaing dalam MEA 2015 sebenarnya cukup besar, saat ini Indonesia merupakan peringkat 16 di dunia untuk besarnya skala ekonomi. Besarnya skala ekonomi juga didukung oleh proporsi penduduk usia produktif and pertumbuhan kelas menengah yang besar. Prospek ekonomis Indonesia yang positif juga didukung oleh perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia serta masuknya indonesai sebagai peringkat 4 (empat) prospective destinations menurut UNCTAD World Investment Report. Maki kuatnya fundamental perekonomian Indonesia dapat dilihat ketika banyak Negara yang “tumbang” diterpa pelemahan perekonomian global, perekonomian Indonesia masih dapat terjaga untuk tumbuh positif. Untuk mewujudkan peluang MEA 2015, sudah saatnya kita berbenah dan melakukan tindakan-tindakan efektif dan terarah dan didukung oleh berbagai pihak.
Jika dilihat dari sisi demografi Sumber Daya Manusia, Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN ini sebenarnya merupakan salah satu Negara yang produktif. Jika dilihat dari faktor usia, sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar 70% nya merupakan usia produktif. Jika kita lihat pada sisi ketenaga kerjaan kita memiliki 110 juta tenaga kerja (Badan Pusat Statistik, 2007), stabilitas ekonomi Indonesia yang kondusif ini merupakan sebuah opportunity dimana Indonesia akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri, apalagi dengan sumber daya alam yang begitu besar, maka akan sangat tidak masuk akal apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu dengan hal tersebut.
Bila melihat catatan perdagangan  dengan Negara ASEAN beberapa tahun terakhir, Indonesia layak optimis bahwa MEA merupakan peluang untuk maju lebih pesat. Hubungan dagang dengan negara-negara ASEAN telah mendongkrak peningkatan ekspor. Indonesia saat ini mengontribusikan sekitar 50 persen  pertumbuhan negara-negara kawasan ASEAN. Angka ini memberikan sinyal positif bahwa MEA adalah bentuk peningkatan intensitas hubungan ekonomi dengan negara-negara ASEAN,  yang akan memberi dampak yang menjanjikan bagi ekonomi Indonesia di masa depan.
Selain itu, jumlah kelas menengah dan porsi ekonomi yang besar diprediksi akan memimpin pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara ASEAN. Integrasi ekonomi di ASEAN ini berpeluang menjadi batu loncatan bagi Indonesia untuk memiliki posisi tawar yang kuat dalam konstelasi politik global. Indonesia bahkan diprediksi bahwa  akan menjadi negara dengan tingkat ekonomi terbesar ke tujuh pada 2030. Kenyataan ini dan prediksi ke depan tersebut memberi angin segar dalam membangun optimisme Indonesia menatap masa depan khususnya menjelang berlakunya MEA pada 2015.
Namun,  di balik optimisme potensi peluang tersebut, banyak kalangan merasa skeptis dengan kesiapan Indonesia menghadapi MEA. Sebagian mengkhawatirkan MEA akan mengakibatkan  terhantamnya sektor-sektor usaha dalam negeri. Kekhawatiran lain juga muncul akibat masih lemahnya daya saing, pembangunan infrakstruktur yang masih belum maksimal,  serta defisit neraca berjalan.  Masalah-masalah tadi merupakan hal mendasar yang  membuat sebagian kalangan pesimis tentang kesiapan Indonesia menghadapi MEA 2015.
Kekhawatiran soal ketidaksiapan tidak hanya terjadi pada Indonesia saja, melainkan juga pada  negara-negara ASEAN yang lain.  Hal ini  terungkap melalui suvey yang dilakukan oleh Kamar Dagang Amerika di Singapura. Survey yang melibatkan 475 pengusaha senior Amerika tersebut mengungkapkan bahwa 52 persen responden tidak percaya Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat diwujudkan pada tahun 2015.
Disamaping adanya kekhawatiran dapat disimpulkan bahwa mengenai Kesiapan Indonesia dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN, bisa dikatakan siap, Namun di dalam negeri perlu diupayakan mengurangi kesenjangan ekonomi kesenjangan antara pemerintah pusat dengan daerah lalu mengurangi kesenjangan antara pengusaha besar dengan UKM dan peningkatan dalam beberapa sektor yang mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing. Hal ini menyiratkan aspek persaingan yang menyodorkan peluang sekaligus tantangan bagi semua negara. Namun kekayaan sumber alam Indonesia yang tidak ada duanya di kawasan, merupakan local-advantage yang tetap menjadi daya tarik kuat, di samping jumlah penduduknya terbesar yang dapat menyediakan tenaga kerja murah.
Kita harus segera berbenah diri untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang kompetitif dan berkulitas global. Menuju tahun 2015 tidaklah lama, Sudah siapkah kita akan Tantangan dan peluang bagi kalangan profesional muda kita untuk tidak terbengong-bengong menyaksikan lalu-lalang tenaga asing di wilayah kita. Tantangan Indonesia kedepan adalah mewujudkan perubahan yang berarti bagi kehidupan keseharian masyarakatnya. Semoga seluruh masyarakat Indonesia kita ini bisa membantu untuk mewujudkan kehidupan ekonomi dan sosial yang layak agar kita bisa segera mewujudkan masyarakat ekonomi ASEAN.

2.5  Sertifikasi Kompetensi Dalam Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Pariwisata
Saat ini maasyarakat Indonesia berada pada lingkungan global yang sedang bergerak dengan dinamis dan kompleks, dengan kondisi-kondisinya yang baru, yang langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap diri masyarakat yang harus dihadapi dengan sikap terbuka. Salah satu aspek penting yang perlu disiapkan dengan cepat bangsa ini adalah Sumber Daya Manusia  (SDM) yang kompeten. Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Para tenaga kerja dari Negara MEA yang memiliki kompetensi kerja yang lebih tinggi tentunya akan lebih meiliki kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan keuntungan ekonomi di dalam MEA.
Dalam sektor pariwisata peluang yang bisa diraih saat diberlakukannya MEA 2015 relatif lebih besar dibandingkan dengan tantangan berupa persaingan yang harus dihadapi. Pariwisata ASEAN nantinya menjadi ”single destination” yang akan mendorong lebih banyak lagi wisatawan dari kawasan ASEAN ke Indonesia. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang siapa memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, menurut Menparekraf Mari Elka Pangestu yang dikutip di www.satuharapan.com kesepakatan di bawah MEA untuk pariwisata antara lain terkait dengan menyepakati standar kopetensi untuk profesi pariwisata dan meningkatkan kualitas profesional SDM dengan melakukan sertifikasi.
Dalam hal penetapan standar kompetensi, sejak 1998 Indonesai menjadi lead country delam pengembangan SDM pariwisata ASEAN, standar kompetensi SDM pariwisata tingkat ASEAN (ACCSTP) sebagian besar adalah standar yang diterapkan di Indonesia. Selain itu Indonesia juga ditunjuk sebagai Regional Sekretariat yang memfasilitasi implementasi dari MRA (Mutual Recognition Arrangement/MRA) tenaga kerja professional pariwisata di kawasan ASEAN.
Untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja sektor pariwisata perlu ada pelatihan dan sertifikasi sumber daya manusia (SDM) pariwisata yang berasis pada kompetensi. Alat ukurnya adalah pengetahuan, keterampilan dan prilaku. Untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan perilaku itu didirikanlah LSP (lembaga Sertifikasi Profesi). Tujuan pembentukan LSP sektor pariwisata adalah untuk mengeluarkan sertifikasi bagi pekerja di sektor pariwisata yang mengacu pada keterampilan standar nasional untuk Biro Perjalanan Wisata, restoran dan perhotelan. Pada kenyataannya keberadaan LSP ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pekerja di sektor pariwisata. Di sisi lain keberadaan SKKNI itu sendiri belum diimplementasikan secara menyeluruh dalam ruang lingkup perhotelan, restoran dan lembaga pendidikan pariwisata di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh regulasi selama ini yang menetapkan bahwa SKKNI bersifat sukarela (www.suarapembaruan.com).
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dalam bidang biro perjalanan wisata, hotel dan restoran. SKKNI ini kemudian diserahkan kepada lembaga pendidikan dan pelatihan agar dapat dibuatkan suatu modul atau buku ajar dalam mempersiapkan materi uji dan tempat uji kompetensi. Lembaga-lembaga yang akan melaksanakan sertifikasi kompetensi bidang pariwisata diantaranya adalah LSP Hotel dan Restoran di Jakarta, LSP Pariwisata Jakarta, LSP Pariwisata Nusantara di Bandung, LSP Pariwisata Indonesia di Bali, LSP Spa Nasionaldi Jakarta, LSP Cohe spa di Surabaya, LSP Pariwisata Nasional di Surabaya, LSP Wiyata Nusantara di Yogyakarta dan LSP MICE di Jakarta. Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut para tenaga kerja pariwisata dengan mudah mendapatkan sertifikasi kompetensi sehingga akan memberikan suatu kepastian hukum dalam melindungi para tenaga kerja industri pariwisata dalam menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Perlindungan tenaga kerja sangat mendapat perhatian dalam Hukum Ketenagakerjaan. Bahkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2013), pada intinya menyebutkan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia usaha (kharim, 2003). Perlindungan tenaga kerja, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja untuk berorganisasi dan berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan khusus tenaga wanita, anak, orang muda dan penyandang cacat serta perlindungan upah jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 27 ayat 2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup ditengah persaingan global yang sangat ketat ini maka pemerintah berusaha memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia dalam wujud sertifikasi kompetensi sebagai alat untuk mengatasi persaingan kerja menyongsong IATA 2015. Tujuan pokok tersebut dapat dijelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah menyediakan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup, waktu dan tempa yang tepat serta kualitas ketrampilan yang sesuai, karena tujuan penggunaan tenaga kerja dimaksudkan sebagai upaya untuk memperkerjakan angkatan kerja secara penuh dan produktif. Perencanaan tenaga kerja yang dibua toleh pemerintah dapat memberikan informasi mengenai pasar kerja untuk masa kerja 5 sampai 10 tahun mendatang (Budi Astuti, 2008).
Pentingnya sertifikasi kompetensi untuk tenaga kerja yang bergerak dalam industri pariwisata telah diatur dalam UU Kepariwisataan Indonesia yaitu UU No. 10 Tahun 2009 yang menyebutkan Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Sedangkan Kompetensi dapat diartikan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.
Pasal 26 UU No. 10 Tahun 2009 menyebutkan bahwa setiap pengusaha pariwisata berkewajiban untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan serta menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa peningkatan kompetensi dari tenaga kerja supaya memperoleh sertifikasi kompetensi merupakan kewajiban dari pengusaha itu sendiri. Akan tetapi kalau kita lihat, pengusaha kurang memperhatikan masalah peningkatan sumber daya manusianya. Mereka lebih menginvestasikan dana yang dimiliki pada bangunan/fisik, karena mereka tidak melihat secara langsung manfaat dari sertifilasi kopetensi ini. Pengaturan lain tentang Standardisasi dan Sertifikasi kompetensi juga dapat lihat pada Pasal 53 yang menyebutkan bahwa tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi. Sesuai amanat Pasal 55 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (tentang pengaturan lebih lanjut sertifikasi kompetensi) dan untuk menjawab tantangan ke depan, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata yaitu Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi di Bidang Pariwisata
Mengenai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah uraian kemampuan yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang untuk menduduki jabatan tertentu.Untuk Pengembangan sertifikasi kompetensi kerja dilakukan oleh BNSP terkait dan terpadu dengan pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta pengembangan pelatihan berbasis kompetensi di lembaga-lembaga pelatihan kerja sebagai kesatuan Sistem Latihan Kerja Nasional (SISLATKERNAS). Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, sertifikasi kompetensi kerja merupakan bentuk pengakuan secara formal terhadap kompetensi kerja yang telah dikuasai oleh lulusan pelatihan kerja atau tenaga kerja yang telah berpengalaman. Pengaturan sertifikasi kompetensi kerja ini merupakan bagian integral dari SISLATKERNAS. Standar kompetensi mencerminkan kemampuan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan didukung oleh sikap kerja. Penerapannya mengacu pada unjuk kerja dan syarat kerja.(Tania Ginting-2013).
Pelaksanaan kegiatan fasilitasi sertifikasi kompetensi ini adalah mandat Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan telah dituangkan dalam rencana strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2012.  Sejak 2007 hingga 2014, Kemenparekraf telah melakukan program sertifikasi sebanyak 64.127 tenaga kerja dibidang pariwisata antara lain bidang hotel dan restoran, spa, biro perjalanan wisata, MICE, tour leader, jasa boga, maupun wisata minat khusus seperti arung jeram dan selam. Jumlah tenaga kerja yang telah mendapat sertifikasi ini jauh diatas target yang ditetapkan pada akhir 2014 sebanyak 50 ribu tenaga kerja pariwisata.
Sebagai pekerja di bidang pariwisata, sertifikasi dan standar kompetensi merupakan hal penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta mendukung daya saing pariwisata Indonesia di mancanegara. Dengan adanya Sertifikasi kompetensi tersebut akan menjadi pemicu untuk para pekerja pariwisata dalam mempersiapkan diri dalam menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

BAB III
SIMPULAN dan SARAN

3.1 SIMPULAN
Dari paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah mengambil suatu tindakan sebagai upaya memberikan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi MEA 2015 melalui standarisasi dan sertifikasi dan diharapkan dengan metode tersebut pariwisata indonesia semakin optimal dalam pengelolaannya. Pentingnya sertifikasi kopetensi untuk tenaga kerja yang bergerak dalam industri pariwisata telah diatur dalam UU Kepariwisataan Indonesia yaitu UU No. 10 Tahun 2009 yang menyebutkan Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Sedangkan Kompetensi dapat diartikan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.Sertifikasi sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan Tenaga Kerja tingkat nasional maupun internasional.

3.2 SARAN
Kiranya sangat tepat bila pemerintah diharuskan untuk lebih mempersiapkan langkah dan strategis menghadapi ancaman dampak negatif dari MEA dengan menyusun dan menata kembali kebijakan-kebijakan nasional yang diarahkan agar dapat lebih mendorong dan meningkatkan daya saing sumber daya manusia dan industri sehingga kulaitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun professional meningkat. Pemerintah diharapkan pula untuk menyediakan lembaga-lembaga sertifikasi yang lebih banyak dan ditempatkan disetiap provinsi disuluruh Indonesia  sehingga mudah diakses oleh para pekerja pariwisata dari berbagai penjuru daerah di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Adityo, Putri, Nadia. 2014. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. (makalah). Serang. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Anonim. 2012. Tenaga Kerja Pariwisata Perlu Kompetensi. (Diakses 22 september 2014). URL: http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/tenaga-kerja-pariwisata-perlu-disertifikasi-kompetisi/27675
Anonim, 2014. Tahun 2015, Pekerja Pariwisata Wajib Bersetifikasi. (Diakses 21 september 2014). URL: http://beritadewata.com/Daerah/Gianyar/Tahun-2015,-Pekerja-Pariwisata--Wajib-Bersertifikasi-.html
Badan Pusat Statistik. 2014. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.

Bagiastuti, Ni, Ketut. 2014. Sertifikasi kompetensi sebagai upaya perlindungan hukum Bagi tenaga kerja industri pariwisata dalam menyambut iata 2015. (Jurnal). Bali. Politeknik Negeri Bali.

Budi Astuti, (2008), Sertifikasi Uji Kompetensi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita Penata Laksana Rumah Tangga (TKI/TKW PLRT), (Tesis), Universitas Diponegoro, Semarang.
Buwono, Akbar. 2014. SDM Pariwisata Dinilai Paling Siap Hadapi MEA. (Diakses 11September 2014) URL: http://beritadaerah.co.id/2014/09/12/sdm-pariwisata-dinilai-paling-siap-hadapi-mea/
Hakim, Andi, Muhammad. 2013. Penerapan “Acceleration To Improve The Quality Of Huma Resource” Dengan Pengetahuan, Pengembangan, Dan Persaingan Sebagai Langkah Dalam Mengotimalkan Daya Saing Indonesia di MEA 2015. (Jurnal). Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Herlambang, R, Sulung, DKK. 2013. Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Era MEA 2015 Melalui Kebijakan Redenominasi. (paper). Purwekerto. Universitas Jenderal Soedirman
Nurul. 2013. Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. (Diakse, 22 September 2014). URL: http://id.voi.co.id/voi-komentar/4889-kesiapan-indonesia-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-2015
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi Dan Sertifikasi Usaha Di Bidang Pariwisata. Jakarta.
Rimandasari, eka, anggraheni, rini. 2014. Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia Menyongsong Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Kompasiana, (diakses 16 september 2014). URL: http://regional.kompasiana.com/2014/06/28/kesiapan-sumber-daya-manusia-sdm-indonesia-menyongsong-implementasi-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015-664888.html
Sarah Tania Ginting. (2013). Kondisi Sumber Daya Manusia Sebagai Penunjang Industri Pariwisata Di Indonesia.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Perkembangan Pariwisata Dalam Kebijakan Negara Republik Indonesia

Pariwisata di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1954, sehingga pariwisata tidak merupakan hal yang baru bagi Indonesia. Para pemimpin Negara ini sangat menyadari peranan sektor ini terhadap sosial budaya maupun ekonomi bangsa, hal ini sangat jelas tercermin pada kebijakan-kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh lembaga legislative dan dijalankan oleh lembaga eksekutif Indonesia. Namun dalam perkembangannya sektor ini mengalami perubahan-perubahan tempat berpijaknya yang disebabkan oleh sifat multi dimensi yang dimiliki sektor ini. Peruahan letak tersebut mencerminkan kesulitan mengidentifikasikan dan mendifinisikn kepariwisataan, termaksud pendekatan dan target kebijakan yang diinginkan (Ida Bagus Wyasa Putra, dkk. 2003).
Kebijakan kepariwisataan Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tahap yaitu, tahap pertama (1961-1969), tahap kedua (1969-1998), dan tahap ketiga (1999-sampai sekarang).

1.      Kebijakan Tahap Pertama 1961/1969
Garis-Garis Besar Pembanguanan Nasional (GBPN) Semesta Berencana Tahap Pertama menempatkan kebijakan kepariwisataan di bawah distribusi dan perhubungan dengan title tourisme. Kebijakan ini mencakup 3 (tiga) hal yaitu:
  • Gagasan mempertinggi mutu kebudayaan m
  •  eningkatkan perhatian terhadap kesenian di daerah-daerah pusat pariwisata 
  • Memelihara kepribadian dan keaslian budaya sesuai dengan kepribadian daerah masing-masing.
Kebijakan demikian mencerminkan 3 (tiga) ciri:
  • Penempatan kepariwisataan sebagai aspek kegiatan budaya. 
  • Kepariwisataan sebagai media pembanguanan nasional maupun universal 
  • Penempatan keaslian, kekhasan, dan nilai-nilai kepribadian kesenian dan kebudayaan daerha sebagai pijakan pengembangan kepariwisataan.
Pandangan, materi dan orientasi kebijakan demikian merupakan cerminan dominasi pendekatan kebudayaan terhadap kepariwisataan. Kebijakan demikian sangat jauh dari motif ekonomi dan devisa, dan lebih ditekankan pada fungsi kepariwisataan sebagai media inetraksi antar bangsa dan dasar pembentukan tatanan kebudayaan universal.

2.      Kebijakan Tahap Kedua 1969/1998
Menurut Wyasa Putra, dkk (2003, 3) kebijakan kepariwisataan tahap kedua ini lebih menekankan bahwa kepariwisataan merupakan sumber devisa negara. Kebijakan ini dirumuskan dalam GBHN 1973 Angka 15 Sub a. Bidang Ekonomi yang menyatakan “Memperbesar penerimaan devisa dari sektor pariwisata dengan segala daya upaya”. Tetapi masih belum mengandung definisi yang tegas mengenai pariwisata.

Selanjutnya kebijakan kepariwisataan dalam Pembangunan Lima Tahun (PELITA) I 1974 antara lain:
  • Berusaha sejauh mungkin memelihara kebudayaan serta lingkungan Indonesia, karena hal ini merupakan kekayaan Indonesia  yang merupakan daya tarik wisatawan yang kuat dan terutama sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia sendiri. 
  • Dalam PELITA I perbaikan-perbaikan terutama diarahkan pada up-grading dan rehabilitasi berdasar skala prioritas yang telah ditentukan baik dari obyek-obyek wisata maupun prasarana dan sarana yang menunjang sektor kepariwsataan didaerah tertentu terutama bali. Kegiatan pariwisata ditingkatkan secara bertahap dengan memanfaatkan daya tarik pulau bali untuk menjalar ke daerah lain. 
  • Menyelenggarakan suatu pemasaran kepariwisataan yang terkoordinir dan sistematis serta terarah secara terus menerus. 
  • Mengadakan bimbingan, pembinaan serta pengawasan pengadaan tenaga kerja yang terdidik dan terlatih dalam bidang pariwisata.
  • Menyelenggarakan usaha dalam bidang penelitian dan pengembangan terutama dalam bidang applied research, sehingga dapat diwujudkan suatu mekanisme yang dapat menampung, mengelola dan menganalisa data-data kepariwisataan yang penting dan artinya bagi pengembangan selanjutnya.
  • Mengadakan pembinaan pengaturan dan kelembagaan baik  sektor pemerintah guna menunjang pembangunan pariwisata nasional. (Yoeti, 1996) 
Kebijakan pengembangan pariwisata dalam PELITA II 1974/1975 – 1978/1979 diletakkan pada:
  • Pengembangan sarana dan organisasi obyek pariwisata, khususnya di bali dan dibeberapa daerah tujuan pariwisata lainnya. 
  • Pembinaan kelembagaan dan organisasi unsure-unsur penunjang pwriwisata agar mampu menunjang pengembangan wisata, baik bagi pariwisata asing maupun wisatawan nasional dalam negeri. (Yoeti,  1996).

Kebijakan pengembangan PELITA III 1979/1984  yang mencakup:
  • Peningkatan penerimaan devisa, perluasan kesempatan dan lapangan kerja 
  • Pengaturan yang lebih terarah 
  • Tercantum dalam GBHN 1978 bahwa pengembangan pariwisata domestik untuk pengenalan budaya.
Kebijakan tersebut kemudian dilengkapi dalam PELITA IV 1983/1989 dengan 3 (tiga) aspek penting yaitu:
  • Kepariwisataan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. 
  • Kebijakan kepariwisataan terpadu 
  •  Peningkatan promosi, pendidikan, penyediaan sarana prasarana.
Definisi dari kebijakan dalam PELITA IV ini akhirnya menjadi beban bagi lingkungan, sosial, dan budaya Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah dapat dianalisi melalui beberapa kata kunci dari kebijakan tersebut, seperti:
  • Pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional
  • Pemanfaatan secara optimal.
Kebiajakan Pariwisata dalam GBHN 1993:
  • Pembangunan Kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional. 
  • Dalam pembangunan kepariwisataan harus dijaga tetap terpeliharanya kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor lain yang terkait dalam suatu keutuhan usaha kepariwisataan yang saling menunjang dan saling menguntungkan, baik yang berskala kecil, menengah maupun besar.
  •   Pengembangan pariwisata Nusantara dilaksanakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan wisata mancanegara perlu ditingkatkan melalui upaya pemeliharaan benda dan khazanah bersejarah yang menggambarkan ketinggian budaya dan kebesaran bangsa, serta didukung dengan promosi yang memikat. 
  • Upaya pengembangan objek dan daya tarik wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya, baik di dalam maupun di luar negeri terus ditingkatkan secara terencana, terarah, terpadu, dan efektif antara lain dengan memanfaatkan secara optimal kerjasama kepariwisataan regional dan global guna meningkatkan hubungan antar bangsa.
  • Pendidikan dan pelatihan kepariwisataan perlu makin ditingkatkan, disertai penyediaan sarana dan prasarana yang makin baik, dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk menjamin mutu dan kelancaran pelayanan serta penyelenggaraan pariwisata.
f.       Kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam kegiatan kepariwisataan perlu makin ditingkatkan melalui penyuluhan dan pembinaan kelompok seni budaya, industri kerajinan, serta upaya lain untuk meningkatkan kualitas kebudayaan dan daya tarik kepariwisataan Indonesia dengan tetap menjaga nilai-nilai agama, citra kepribadian bangsa, serta harkat vdan martabat bangsa. Dalam upaya pengembangan usaha kepariwisataan, harus dicegah hal-hal yang dapat merugikan kehidupan masyarakat dan kelestarian kehidupan budaya bangsa. Dalam pembangunan kawasan pariwisata keikutsertaan masyarakat setempat terus ditingkatkan.
Kebijakan kepariwisataan pada tahap kedua ini adalah penekanan kepariwisataan sebagai sumber devisa. Kebijakan kepariwisataan dirumuskan dalam fase memperbesar penerimaan devisa dari sektor pariwisata.

TAP MPR-RI No. II/MPR/1988 tentang GBHN
 Bahkan pada Undang – Undang yang dibuat pada periode GBHN 1988, mendefinisikan pariwisata sebagai kegiatan ekonomi, justru tersirat mengatur pariwisata sebagai bentuk perdagangan jasa. Karena tema dari konsep kepariwisataan pada kebijakan pariwisata Indonesia saat itu adalah pariwisata sebagai suatu kegiatan ekonomi yang meningkatkan penerimaan devisa secara signifikan.

TAP MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004
Kepariwisataan Indonesia masih berorientasi pada kegiatan ekonomi yaitu padakemajuan teknologi global. Pada kebijakan ini tidak ada definisi yang menjelaskan pariwisata sebagai suatu perdagangan jasa, tetapilebih cenderung pada kesenian dan kebudayaan sebagai suatu aset penting bagi pengembangan program kepariwisataan. Sama halnya dengan kebijakan sebelumnya, pariwisata lebih dihubungkan dengan kegiatan kesenian dan kebudayaan serta sebagai perantara promosi bagi keunikan dan kekhasan kebudayaan nasional. Pada pengaturan pariwisata dalam Pengembangan Sosial dan Budaya maka kepariwisataan yang bernaung dibawah penjelasan Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata telah menuliskan mengenai suatu sistem hubungan ekonomi, sosial budaya, energi dan kelestarian lingkungan.

Perkembangan Kebijakan Pariwisata Internasional
GATS (General Agreement on Trade in Services) atau Persetujuan Umum Perdagangan jasa, masuk ke dalam sistem hukum Indonesia melalui Undang-undaag Nomor 7 Tahun 1994, yaitu Undang-undang tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organisation (WTO Agreement) atau Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia. GATS merupakan bagian WTO Agreement dan terletak pada Annex 1B Persetujuan tersebut.

3.      Kebijakan Pariwisata Tahap Ketiga 1999/Hingga Sekarang.
  • Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa. 
  • Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, untuk memberikan rujukan sistim nilai bagi totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyartakat
  •  Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-ilai budaya dalam rangka memilah-milah nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan.
  • Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam kesenian untuk memberi inspirasi bagi kepekaan terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral, estetika dan agama serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalty bagi pelaku seni dan budaya. 
  • Mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa kreatif untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan opini public yang positif, dan nilai tambah secara ekonomi 
  • Melestarikan apresiasi kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan kebanggaan nasional. 
  • Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa. 
  • Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh, terpadu, interdisipliner, dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomik, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan

Kebijakan Kepariwisataan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS)       2004-2009
Definisi dari kebijakan kepariwisataan dalam  Undang-Undang RI No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 ini kembali kepada konsep perkembangan tahap pertama yang didasarkan pada pendekataan kebudayaan. Seperti yang diungkapakan Wyasa Putra (2009:113) bahwa PROPERNAS mensyaratkan pendekatan sistem bagi pengembangan kepariwisataan yaitu  suatu pendekatan yang utuh, terpadu, multidisipliner, partisipatoris, dengan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestraikan alam, dan tidak merusak lingkungan. Dalam pendekatan tersebut terdapat kriteria ekonomi hal itu dapat mencerminkan dalam perkembangan kebijakan tersebut terdapat 2 pola dasar yaitu keparwisataan sebagai kgiatan kebudayaan dan ekonomi, 2 model pendekatan yaitu kebudayaan dan ekonomi, dan 2 model target yaitu target budaya dan ekonomi.

      Rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005/2025 yaitu mencangkup:
Kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong peningkatan daya saing perekonomian nasional, peningkatan kualitas perekonomian, dan kesejahteraan masyarakat lokal, serta perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan secara arif dan berkelanjutan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional nasional sebagai wilayah bahari terluas di dunia serta dapat mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa.

Dalam kebiajakan ketiga sampai dengan sekarang, pemerintah masih belum dapat menghilangkan unsur ekonomi dalam fungsi kepariwisataan bahkan dapat mengakibatkan kekaburan batasan – batasan kebijakan itu sendiri yang akan mempengaruhi praktik – praktik dalam kegiatan pariwisata di kemudian hari. Seperti lebih dominannya motif budaya dibandingkan motif ekonomi, proposionalnya motif budya dan ekonomi, lebih dominannya motif ekonomi dibandingkan budaya, atau bahkan motif ekonomi akan menyebabkan kembalinya eksploitasi budaya.