Pariwisata di Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1954, sehingga pariwisata tidak merupakan hal yang baru bagi
Indonesia. Para pemimpin Negara ini sangat menyadari peranan sektor ini
terhadap sosial budaya maupun ekonomi bangsa, hal ini sangat jelas tercermin
pada kebijakan-kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang yang tertuang
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh lembaga legislative
dan dijalankan oleh lembaga eksekutif Indonesia. Namun dalam perkembangannya
sektor ini mengalami perubahan-perubahan tempat berpijaknya yang disebabkan
oleh sifat multi dimensi yang dimiliki sektor ini. Peruahan letak tersebut
mencerminkan kesulitan mengidentifikasikan dan mendifinisikn kepariwisataan,
termaksud pendekatan dan target kebijakan yang diinginkan (Ida Bagus Wyasa
Putra, dkk. 2003).
Kebijakan kepariwisataan Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tahap yaitu, tahap pertama (1961-1969), tahap
kedua (1969-1998), dan tahap ketiga (1999-sampai sekarang).
1.
Kebijakan
Tahap Pertama 1961/1969
Garis-Garis Besar Pembanguanan
Nasional (GBPN) Semesta Berencana Tahap Pertama menempatkan kebijakan
kepariwisataan di bawah distribusi dan perhubungan dengan title tourisme.
Kebijakan ini mencakup 3 (tiga) hal yaitu:
- Gagasan mempertinggi mutu kebudayaan m
- eningkatkan perhatian terhadap kesenian di daerah-daerah pusat pariwisata
- Memelihara kepribadian dan keaslian budaya sesuai dengan kepribadian daerah masing-masing.
Kebijakan
demikian mencerminkan 3 (tiga) ciri:
- Penempatan kepariwisataan sebagai aspek kegiatan budaya.
- Kepariwisataan sebagai media pembanguanan nasional maupun universal
- Penempatan keaslian, kekhasan, dan nilai-nilai kepribadian kesenian dan kebudayaan daerha sebagai pijakan pengembangan kepariwisataan.
Pandangan,
materi dan orientasi kebijakan demikian merupakan cerminan dominasi pendekatan
kebudayaan terhadap kepariwisataan. Kebijakan demikian sangat jauh dari motif
ekonomi dan devisa, dan lebih ditekankan pada fungsi kepariwisataan sebagai
media inetraksi antar bangsa dan dasar pembentukan tatanan kebudayaan
universal.
2.
Kebijakan
Tahap Kedua 1969/1998
Menurut
Wyasa Putra, dkk (2003, 3) kebijakan kepariwisataan tahap kedua ini lebih
menekankan bahwa kepariwisataan merupakan sumber devisa negara. Kebijakan ini
dirumuskan dalam GBHN 1973 Angka 15 Sub a. Bidang Ekonomi yang menyatakan
“Memperbesar penerimaan devisa dari sektor pariwisata dengan segala daya
upaya”. Tetapi masih belum mengandung definisi yang tegas mengenai pariwisata.
Selanjutnya kebijakan
kepariwisataan dalam Pembangunan Lima Tahun (PELITA) I 1974 antara lain:
- Berusaha sejauh mungkin memelihara kebudayaan serta lingkungan Indonesia, karena hal ini merupakan kekayaan Indonesia yang merupakan daya tarik wisatawan yang kuat dan terutama sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia sendiri.
- Dalam PELITA I perbaikan-perbaikan terutama diarahkan pada up-grading dan rehabilitasi berdasar skala prioritas yang telah ditentukan baik dari obyek-obyek wisata maupun prasarana dan sarana yang menunjang sektor kepariwsataan didaerah tertentu terutama bali. Kegiatan pariwisata ditingkatkan secara bertahap dengan memanfaatkan daya tarik pulau bali untuk menjalar ke daerah lain.
- Menyelenggarakan suatu pemasaran kepariwisataan yang terkoordinir dan sistematis serta terarah secara terus menerus.
- Mengadakan bimbingan, pembinaan serta pengawasan pengadaan tenaga kerja yang terdidik dan terlatih dalam bidang pariwisata.
- Menyelenggarakan usaha dalam bidang penelitian dan pengembangan terutama dalam bidang applied research, sehingga dapat diwujudkan suatu mekanisme yang dapat menampung, mengelola dan menganalisa data-data kepariwisataan yang penting dan artinya bagi pengembangan selanjutnya.
- Mengadakan pembinaan pengaturan dan kelembagaan baik sektor pemerintah guna menunjang pembangunan pariwisata nasional. (Yoeti, 1996)
Kebijakan
pengembangan pariwisata dalam PELITA II 1974/1975 – 1978/1979 diletakkan pada:
- Pengembangan sarana dan organisasi obyek pariwisata, khususnya di bali dan dibeberapa daerah tujuan pariwisata lainnya.
- Pembinaan kelembagaan dan organisasi unsure-unsur penunjang pwriwisata agar mampu menunjang pengembangan wisata, baik bagi pariwisata asing maupun wisatawan nasional dalam negeri. (Yoeti, 1996).
Kebijakan pengembangan PELITA III
1979/1984 yang mencakup:
- Peningkatan penerimaan devisa, perluasan kesempatan dan lapangan kerja
- Pengaturan yang lebih terarah
- Tercantum dalam GBHN 1978 bahwa pengembangan pariwisata domestik untuk pengenalan budaya.
Kebijakan tersebut kemudian
dilengkapi dalam PELITA IV 1983/1989 dengan 3 (tiga) aspek penting yaitu:
- Kepariwisataan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
- Kebijakan kepariwisataan terpadu
- Peningkatan promosi, pendidikan, penyediaan sarana prasarana.
Definisi
dari kebijakan dalam PELITA IV ini akhirnya menjadi beban bagi lingkungan,
sosial, dan budaya Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah dapat dianalisi melalui
beberapa kata kunci dari kebijakan tersebut, seperti:
- Pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional
- Pemanfaatan secara optimal.
Kebiajakan Pariwisata dalam GBHN
1993:
- Pembangunan Kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional.
- Dalam pembangunan kepariwisataan harus dijaga tetap terpeliharanya kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor lain yang terkait dalam suatu keutuhan usaha kepariwisataan yang saling menunjang dan saling menguntungkan, baik yang berskala kecil, menengah maupun besar.
- Pengembangan pariwisata Nusantara dilaksanakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan wisata mancanegara perlu ditingkatkan melalui upaya pemeliharaan benda dan khazanah bersejarah yang menggambarkan ketinggian budaya dan kebesaran bangsa, serta didukung dengan promosi yang memikat.
- Upaya pengembangan objek dan daya tarik wisata serta kegiatan promosi dan pemasarannya, baik di dalam maupun di luar negeri terus ditingkatkan secara terencana, terarah, terpadu, dan efektif antara lain dengan memanfaatkan secara optimal kerjasama kepariwisataan regional dan global guna meningkatkan hubungan antar bangsa.
- Pendidikan dan pelatihan kepariwisataan perlu makin ditingkatkan, disertai penyediaan sarana dan prasarana yang makin baik, dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk menjamin mutu dan kelancaran pelayanan serta penyelenggaraan pariwisata.
f. Kesadaran
dan peran aktif masyarakat dalam kegiatan kepariwisataan perlu makin
ditingkatkan melalui penyuluhan dan pembinaan kelompok seni budaya, industri
kerajinan, serta upaya lain untuk meningkatkan kualitas kebudayaan dan daya
tarik kepariwisataan Indonesia dengan tetap menjaga nilai-nilai agama, citra
kepribadian bangsa, serta harkat vdan martabat bangsa. Dalam upaya pengembangan
usaha kepariwisataan, harus dicegah hal-hal yang dapat merugikan kehidupan
masyarakat dan kelestarian kehidupan budaya bangsa. Dalam pembangunan kawasan
pariwisata keikutsertaan masyarakat setempat terus ditingkatkan.
Kebijakan
kepariwisataan pada tahap kedua ini adalah penekanan kepariwisataan sebagai
sumber devisa. Kebijakan kepariwisataan dirumuskan dalam fase memperbesar
penerimaan devisa dari sektor pariwisata.
TAP
MPR-RI No. II/MPR/1988 tentang GBHN
Bahkan pada Undang – Undang yang
dibuat pada periode GBHN 1988, mendefinisikan pariwisata sebagai kegiatan
ekonomi, justru tersirat mengatur pariwisata sebagai bentuk perdagangan jasa.
Karena tema dari konsep kepariwisataan pada kebijakan pariwisata Indonesia saat
itu adalah pariwisata sebagai suatu kegiatan ekonomi yang meningkatkan
penerimaan devisa secara signifikan.
TAP
MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004
Kepariwisataan
Indonesia masih berorientasi pada kegiatan ekonomi yaitu padakemajuan teknologi
global. Pada kebijakan ini tidak ada definisi yang menjelaskan pariwisata
sebagai suatu perdagangan jasa, tetapilebih cenderung pada kesenian dan
kebudayaan sebagai suatu aset penting bagi pengembangan program kepariwisataan.
Sama halnya dengan kebijakan sebelumnya, pariwisata lebih dihubungkan dengan
kegiatan kesenian dan kebudayaan serta sebagai perantara promosi bagi keunikan
dan kekhasan kebudayaan nasional. Pada pengaturan pariwisata dalam Pengembangan
Sosial dan Budaya maka kepariwisataan yang bernaung dibawah penjelasan
Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata telah menuliskan mengenai suatu sistem
hubungan ekonomi, sosial budaya, energi dan kelestarian lingkungan.
Perkembangan
Kebijakan Pariwisata Internasional
GATS
(General Agreement on Trade in Services)
atau Persetujuan Umum Perdagangan jasa, masuk ke dalam sistem hukum Indonesia
melalui Undang-undaag Nomor 7 Tahun 1994, yaitu Undang-undang tentang
Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organisation (WTO
Agreement) atau Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia. GATS
merupakan bagian WTO Agreement dan
terletak pada Annex 1B Persetujuan tersebut.
3.
Kebijakan
Pariwisata Tahap Ketiga 1999/Hingga Sekarang.
- Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
- Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, untuk memberikan rujukan sistim nilai bagi totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyartakat
- Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-ilai budaya dalam rangka memilah-milah nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan.
- Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam kesenian untuk memberi inspirasi bagi kepekaan terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral, estetika dan agama serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalty bagi pelaku seni dan budaya.
- Mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa kreatif untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan opini public yang positif, dan nilai tambah secara ekonomi
- Melestarikan apresiasi kesenian dan kebudayaan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan kebanggaan nasional.
- Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa.
- Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh, terpadu, interdisipliner, dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomik, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan
Kebijakan Kepariwisataan Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2004-2009
Definisi
dari kebijakan kepariwisataan dalam
Undang-Undang RI No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) Tahun 2000-2004 ini kembali kepada konsep perkembangan tahap pertama
yang didasarkan pada pendekataan kebudayaan. Seperti yang diungkapakan Wyasa
Putra (2009:113) bahwa PROPERNAS mensyaratkan pendekatan sistem bagi
pengembangan kepariwisataan yaitu suatu
pendekatan yang utuh, terpadu, multidisipliner, partisipatoris, dengan kriteria
ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestraikan alam,
dan tidak merusak lingkungan. Dalam pendekatan tersebut terdapat kriteria
ekonomi hal itu dapat mencerminkan dalam perkembangan kebijakan tersebut
terdapat 2 pola dasar yaitu keparwisataan sebagai kgiatan kebudayaan dan ekonomi,
2 model pendekatan yaitu kebudayaan dan ekonomi, dan 2 model target yaitu
target budaya dan ekonomi.
Rancangan
awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005/2025 yaitu
mencangkup:
Kepariwisataan
dikembangkan agar mampu mendorong peningkatan daya saing perekonomian nasional,
peningkatan kualitas perekonomian, dan kesejahteraan masyarakat lokal, serta
perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan secara
arif dan berkelanjutan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional
nasional sebagai wilayah bahari terluas di dunia serta dapat mendorong kegiatan
ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa.
Dalam
kebiajakan ketiga sampai dengan sekarang, pemerintah masih belum dapat
menghilangkan unsur ekonomi dalam fungsi kepariwisataan bahkan dapat
mengakibatkan kekaburan batasan – batasan kebijakan itu sendiri yang akan
mempengaruhi praktik – praktik dalam kegiatan pariwisata di kemudian hari. Seperti
lebih dominannya motif budaya dibandingkan motif ekonomi, proposionalnya motif
budya dan ekonomi, lebih dominannya motif ekonomi dibandingkan budaya, atau
bahkan motif ekonomi akan menyebabkan kembalinya eksploitasi budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar