Sabtu, 25 Oktober 2014

DAMPAK KOMERSIALISASI BUDAYA DALAM PARIWISATA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Budaya Merupakan suatu manifestasi dari akal atau budi manusia yang terbentuk dari banyak unsur, mulai dari sistem kepercayaan, agama, bahasa, mata pencaharian, hingga seni, yang kemudian menjadi cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya bersifat jamak, aktif, dan hidup. Karena berada dalam dimensi dan aspek yang berbeda, maka masing-masing masyarakat yang tinggal dan menetap di suatu kawasan pun memiliki budaya yang berbeda. Perbedaan itulah yang membuatnya unik dan menark bagi yang lain. Nurdiansyah (2014).
Di indonesia sendiri, pariwisata budaya telah ada sejak berabad-abad lampau. Pada era kerajaan Hindu-Budha, perjalanan wisata dilakukan untuk mengunjungi tempat-tempat sakral (bangunan warisan leluhur sebagai produk budaya). Motivasi untuk mendapatkan pengalaman baru secara batiniah di tempat yang berbeda dianggap penting sebagai relaksasi dan memperkaya diri secara batiniah.
Sebagaimana dirumuskan dalam makalah seminar (1971) dalam Picard (2006), Pariwisata budaya nampak sebagai ragam pariwisata yang melestarikan sumber-sumber yang dimanfaatkannya, yaitu ragam pariwisata yang mengembangkan budaya sembari dia sendiri berkembang secara berkelanjutan. Pariwisata budaya telah menjadi daya tarik tersendiri terhadap  pariwisata Indonesia, beragamnya budaya daerah menjadikan magnet penting bagi pariwisata Indonesia dalam menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi dan menikmati beragam budaya daerah tersebut. Makin meningkatnya tingkat kunjungan wisatawan oleh adanya budaya, mengakibatkan potensi tersebut menjadi salah satu yang harus dikembangkan dan dipromosikan untuk lebih meningkatkan lagi tingkat kunjungan wisatawan maupun tingkat pendapatan ekonomi Indonesia.
Pariwisata budaya menjadi aspek penting dalam pengembangan suatu daerah pariwisata, banyak daerah di Indonesia mengembangkan budayanya sebagai objek wisata sebagai tujuan wisatawan, seperti Tanak Toraja, Lombok, Bali dan masih banyak daerah lain yang memiliki keunikan-keunikan budaya yang bisa dikembangkan sebagai daearah tujuan wisata. Akan tetapi hadirnya pariwisata di Indonesia membawa paradigma baru, dimana budaya yang dulunya sebagai konsumsi masyarakat daerah, sekarang telah berubah menjadi konsumsi bagi para wisatawan. Hal yang semacam itulah yang dimaksudkan dengan “Komersialisasi Budaya” dalam pariwisata.
Komersialisasi yaitu menyajikan suatu budaya seperti kesenian tradisional yang tidak dilakukan seperti yang biasa hidup dalam masyarakat, tetapi disesuaikan dengan waktu dan daya beli wisatawan yang menyaksikannya, Yoety (1994). Bentuk komersialisasi budaya itu tidak hanya terjadi dalam adat istiadat dan kesenian daerah saja, tetapi meliputi semua sektor yang banyak kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan, seperti misalnya seni patung, seni lukis, seni membatik, seni pahat dan banyak kerajinan lainnya yang sering menjadi incaran para wisatawan. Kehadiran wisatawan pada upacara atau ritual yang dilakukan sebagai sebuah bentuk ekspresi dan rasa syukur, seperti perayaan panen, pesta kelahiran, perkawinan, maupun kematian, telah membuka peluang bagi pihak pengelola (pengada layanan wisata, pemerintah, dan tour operator) dan masyarakat lokal terhadap penggalian manfaat. Apa yang awalnya bagi masyarakat adalah privat menjadi publik, sacral menjadi sekuler.
Hal ini dilakukan secara sadar dan terencana karena tujuan utamanya untuk konsumsi wisatawan tanpa menghiraukan kualitas yang seharusnya dipelihara. Kejadian semacam ini sangat merisaukan banyak kalangan terutama yang membenahi budaya di daerahnya. Mereka melihat sudah demikian gampangnya pemerintah dan pemandu-pemandu wisata menjual budaya untuk konsumsi wisatawan, tanpa memperhatikan akibatnya lebih jauh. Wajar kalau timbul kekhawatiran kalau daerah-daearah yang memiliki beragam budaya larut dalam kehendak para wisatawan yang datang berkunjung silih berganti. Walaupun disatu sisi, secara ekonomi hal ini akan meningkatkan perekonomian daerah. Namun di sisi lain, hal ini telah menggerus akar budaya sehingga cukup mengkhawatirkan. Maka dari itu, didalam penulisan makalah ini, penulis ingin menguraikan beberapa hal tentang dampak komersialisasi budaya dalam pariwisata. 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pariwisata, Budaya, dan Pariwisata Budaya
Mathieson dan Wall (1982) dalam Kurniansah (2014) mendefinisikan pariwisata sebagai serangkaian aktivitas berupa perpindahan orang untuk sementara waktu ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya baik selama dalam perjalanan maupun dilokasi tujuannya. Didalam UU No. 10 Tahun 2009, dalam Sunaryo (2013), keseluruhan lingkup kegiatan pariwisata diberikan batasan pengertian sebagai; berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.
Menurut Astuti (2012), budaya secara umum disebut sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa. Selama ini pemahaman mengenai budaya pun juga di pahami secara umum sebagai sesuatu yang baik dan dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan. Namun konsepsi lebih kompleks dikemukakan oleh Kleden mengenai budaya, Budaya sebagai sistem ide misalnya, terlihat perbedaan antara penekanan kepada ide-ide kognitif, yang menyebabkan budaya dipandang sebagai sistem makna (system of meaning), atau penekanan kepada ide-ide normativ, yang menyebabkan budaya dipandang sebagai system nilai (value system)
Pariwisata budaya terus berkembang dan tak hanya dilihat sebagai pemaknaan pada perbedaan/keberagaman. Proses pariwisata budaya yang besar dan mengakibatkan efek domino pada berbagai bidang, tentu saja memberikan dispossible income (aktivitas ekonomi), khususnya bagi host community (tuan rumah). Kehadiran orang-orang asing telah memberikan dampak terhadap pemenuhan yang harus dibayarkan (akomodasi, amenitas, transportasi, fasilitas, dan jasa lainnya), termaksud kesediaan membayar atraksi yang diinginkan. Jika sebelumnya berbagai upacara/ritual dan produk-produk kriya hanya digunakan untuk kalangan sendiri dengan makna dan fungsi khusus, maka kehadiran wisatawan  telah menambahkan nilai lain terhadap produk dan atraksi budaya.
Sebagai produk/atraksi budaya yang menawarkan mimpi maupun kesenangan wisatawan (pengalaman dan keunikan), sulit untuk kemudian menentukan standar  dari suatu produk pariwisata budaya karena setiap wisatawan memiliki ekspektasi yang berbeda. Biasanya, produk pariwisata budaya memiliki sifat intangible yang lebih dominan daripada tangible (terkait nilai yang abstrak) dan tentu saja heterogen (beragam). Melalui pengelolaan sumber daya, pihak pengelola berusaha dengan keras untuk mengkomersialkan budaya sebagai daya tarik wisata. Bisa dikatakan kemudian bahwa produk pariwisata budaya dapat berubah menjadi manifestasi mimpi wisatawan sebagai akibat dari kapitalis industri pariwisata.
Beragam perubahan kemudian terus diupayakan dalam bisnis pariwisata budaya guna melakukan penyesuaian atau rekayasa terhadap sumber daya (atraksi) guna pemenuhan ekspektasi wisatawan. Tentu saja, pengembangan inovasi inilah yang kemudian memberikan kontribusi positif pada pembangunan infrastruktur, akomodasi, pelayanan, transportasi dan aksesibilitas terhadap lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya manusia. 
Fake cultural attraction/production, modifikasi budaya, dan tourisfication (turisfikasi) terhadap budaya membawa budaya kadang ter-diposisikan menjadi “objek tontonan” di mana wisatawan yang menonton kerap dipandang subjek yang paling berpengaruh dan menentukan, Nurdiansyah (2014).
Ketika budaya sebagai suatu sumber daya diposisikan lebih rendah dari kepentingan wisatawan, warisan budaya (fisik maupun non-fisik) dan masyarakat lokal menjadi sumber daya yang dieksploitasi (relasi eksploitatif), sehingga terjadilah kesenjangan yang kemudian menimbulkan konflik dan mengancam budaya itu sendiri. Pergeseran cara pandang, upacara/atraksi budaya dapat dilihat secara sempit sebagai “kedatangan wisatawan” dan “uang” (tourist magnet). Ungkapan “one dollar for a photo” seringkali diungkapkan masyarakat adat yang telah akrab difoto oleh wisatawan di banyak tempat.

2.2 Dampak Komersialisasi Budaya
            Pariwisata dapat mengakibatkan budaya lokal menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan ketika upacara-upacara ritual, upacara adat tradisional diadakan untuk permintaan, harapan dan kepuasan wisatawan maka akan muncul istilah “rekonstruksi kebudayaan”. Pada saat suatu daerah dinyatakan menjadi daerah tujuan wisata, maka permintaan akan souvenir, benda-benda seni dan semacamnya merupakan komuditas belaka yang pada akhirnya akan mempengaruhi pergeseran nilai budaya masyarakat di tempat tersebut, karena tempat-tempat suci dan sakral tidak lagi dihormati dan disegani, kecuali hanya sebagai komoditas yang layak untuk dijual dan dikomersialkan.
            Berikut beberapa contoh dampak negatif daripada kegiatan pariwisata sudah cukup banyak kita ketahui, di antaranya yang perlu kita kemukakan adalah:
  • Komersialisasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya, Kabupaten Gianyar-Bali.
Menurut Setiawan (2012) Pura Tirta Empul di Desa Manukaya pada awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan masa kini Pura Tirta Empul mengalami modifikasi yang mengarah komersialisasi karena ditata untuk memenuhi selera pasar. Kepentingan kapitalisme menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Dalam hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi Pura Tirta Empul dalam penampilannya, yakni objek, kualitas bahan, ornamen atau ragam hias, pewarnaan akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar.
Berdasarkan asumsi dasar mengenai keterkaitan antara komoditas Pura Tirta Empul dengan kehidupan sosial budaya masyarakat, maka Pura Tirta Empul sebagai produk budaya manusia merupakan hasil kebudayaan dari suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang saling terkait, khususnya antara unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi, dan komersial tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, saling terkait, atau bahkan ada saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan saling terkait tersebut berorientasi pada kehidupan atau kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu kesatuan secara menyeluruh, Bagus (1975) dalam Setiawan (2012).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Setiawan, dampak komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa dampak komodifikasi Pura Tirta Empul terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Manukaya cenderung bersifat negatif yang dapat mendatangkan kerugian, seperti terjadinya komersialisasi tempat suci, kaburnya identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala hiperspiritualitas.
  •    Komersialisasi Balai Banjar Bentuk Ekonomi Kreatif
Berdasarkan hasil kutipan di Bali Post (2013). Balai pertemuan atau balai banjar yang selama ini berfungsi untuk aktivitas adat mulai bergeser. Kini balai banjar tak hanya berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan bazar, rapat bulanan, latihan menari dan lainnya, tetapi lebih kepada komersialisasi.
Hal itu dinilai Pengamat Ekonomi Universitas Undiknas University, Prof. Gede Sri Darma, D.B.A., di Denpasar, sebagai salah satu bentuk dari ekonomi kreatif, yang meningkatkan fungsi semula hanya sebagai kegiatan adat dan menjadi ladang bisnis. Langkah ini untuk meningkatkan pendapatan desa adat. "Itu yang namanya salah satu bentuk ekonomi kreatif. Lahan yang bisa dijadikan uang mesti dioptimalkan. Asalkan dengan catatan bukan dimanfaatkan sebagai tempat yang bertolak belakang dengan ajaran agama," ungkapnya.
Dikatakan, komersialiasasi balai banjar sudah terjadi sejak dulu. Contohnya, Banjar Teges yang berlokasi di Kabupaten Gianyar yang difungsikan sebagai tempat kuliner. Banjar Titih Denpasar yang difungsikan sebagai pasar buah. "Betul fungsi dasar balai banjar adalah untuk kegiatan adat pada saat tertentu, namun waktu di luar itu bisa dimaksimalkan untuk kegiatan yang bisa menambah pendapatan adat pula," katanya.
Dia berpendapat fungsi balai banjar harus dimaksimalkan, selain untuk kegiatan adat dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan, sehingga beban yang dipikul masyarakat di lingkungan tersebut bisa sedikit berkurang. "Di tengah-tengah pemberdayaan aset yang dimiliki mestinya krama banjar juga memaksimalkan aset yang dimiliki, tidak hanya tergantung dari donasi krama pendatang," tegasnya.
Seperti diketahui, fungsi dan peran balai banjar semakin kompleks dan luas. Untuk daerah perkotaan atau yang sudah maju, beberapa memiliki fungsi secara ekonomi. Ada juga yang ditemui balai banjar yang berfungsi sebagai kantor untuk LPD atau koperasi, sebagai sarana pendidikan pra-sekolah (Taman Kanak-kanak) dan mungkin saja sudah ada balai banjar yang berfungsi sebagai restoran atau kafe untuk yang berlokasi di areal ramai wisatawannya seperti Kuta.
  • Komersialisasi Suku Toraja, Sulawesi Selatan
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geograpic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, Seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.  "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali". Pariwisata menjadi sangat meningkat menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981, Wikipedia (2014).
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan Pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa kete kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
  •   Tari Gendang Beleq, Lombok-Nusa Tenggara Barat
Tari Gendang Beleq adalah salah satu tarian dari Lombok, demikian karena memakai gendang yang sangat besar. Kesenian Gendang Beleq sudah menjadi tradisi  di Suku Sasak sejak lama dan merupakan kesenian peninggalan Kerajaan Selaparang Lombok yang menguasai sebagian wilayah pulau Lombok bagian timur pada zaman kerajaan Anak Agung. Disebut Gendang Beleq, karena menggunakan Gendang berukuran besar yang dalam bahasa sasak disebut Beleq. Kesenian Gendang Beleq, awal masuknya di pulau Lombok, digunakan oleh para tokoh agama untuk menyebarkan islam di daerah ini. Saat itu, kesenian ini dimainkan untuk mengumpulkan warga, yang akan diberikan ceramah agama maupun kegiatan keagamaanlainnya.
Untuk memainkan kesenian ini membutuhkan kekompakan dalam kelompok, sehingga harus dimainkan secara utuh. Musik yang dimainkan, tari yang ditampilkan dalam kesenian Gendang Beleq, menggambarkan jiwa satria masyarakat Suku Sasak Lombok dalam mempertahankandaerahnya.
Dalam kaitannya tentang komersialisasi budaya, tari Gendang Beleq sekarang telah banyak berubah seperti berkurangnya jumlah penari dan bercampurnya berbagai alat musik elektronik. Biasanya tari gendang Beleq dipentaskan untuk acara-acara tradisional Lombok, saat ini tari Gendang Beleq telah keluar dari tradisi yang sebenarnya, dulunya hanya dipertunjukkan didepan warga, sekarang seni tari tersebut telah banyak diperlihatkan dan dipertunjukkan ditempat-tempat wisata bahkan di dalam area hotel sebagai hiburan para tamu.


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kegiatan komersialisasi budaya mengakibatkan beberapa hal antara lain Komersialisasi Pura Tirta Empul yang awalnya bukan produk budaya sekarang telah menjadi komersialisasi tempat suci, kaburnya identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala hiperspiritualitas. Komersialisasi Balai Banjar yang dulunya sebagai tempat rapat bulanan, latihan menari, dan aktivitas adat. Sekarang telah berubah menjadi tempat kegiatan bazaar, dan koperasi.  Komersialisasi Suku Toraja yang dulunya sebuah ritual kegamaan, sekarang citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat. Dan terakhir Tari Gendang Beleq yang dulunya hanya dipentaskan untuk kebudayaan daerah, sekarang telah menjadi konsumsi wisatawan akibatnya tari tersebut mengalami perubahan dari jumlah penari dan alat musik yang telah modern.
Kegiatan komersialisasi budaya cenderung mengarah untuk meningkatkan perekonomian warga maupun pemerintah, serta  perubahan budaya tersebut cenderung disengaja karena kabutuhan pariwisata. adanya campur tangan pemerintah serta pihak swasta yang bergerak dibidang pariwisata membuat budaya asli daerah cenderung tergerus akan hadirnya pariwisata

3.2 Saran
            Untuk pemerintah, sebaiknya membuat kebijakan untuk tetap mempertahankan budaya asli daerah. Pemerintah seharusnya banyak berperan untuk mengakomodir jalannya kegiatan tersebut serta memberi dukungan  dengan cara memperbaiki infrastruktur daerah wisata, melakukan promosi, serta memberikan pengetahuan penting tentang kebudayaan dan pariwisata itu sendiri. Sehingga masyarakat tidak hanya melakuakn kegaitan pementasan budaya demi meningkatkan perekonomian mereka, tetapi juga akan tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka sebagai warisan budaya yang tidak bisa dirubah demi aktivitas pariwisata.



DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Yuli Ferera. 2012. Konsepsi Komersialisasi Seni Budaya Hingga Nasib Eksistensi Gedung Wayang Orang Sriwedari. (Diakses 23 Oktober 2014). URL: http://fererachul.blog.fisip.uns.ac.id/konsepsi-komersialisasi-seni-budaya-hingga-nasib-eksistensi-gedung-wayang-orang-sriwedari/


Amalia, Syifa, 2012. Definisi Budaya. (Diakses 19 October 2014). URL: http://syifaamalia22.wordpress.com/2012/04/15/definisi-budaya/

Bali Post. 2013. Komersialisasi Balai Banjar Bentuk Ekonomi Kreatif. (Diakses 26 Oktober). URL: https://www.facebook.com/balipost/posts/570967419636570

Kurniansah, Rizal. 2014. Beberapa Hal Tentang Pariwisata dan Definisinya. (Diakses 23 oktober 2014). URL: http://rizalmpar.blogspot.com/2014/09/beberapa-hal-tentang-pariwisata-dan.html

Nurdiansyah. 2014. Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia. Bandung. Alfabeta.

Nurdin, Muhammad. ----. Dampak Negatif Industri Pariwisata Pada Lingkungan Sosial Budaya. Artikel. Surabaya. Universitas Airlangga.

Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Setiawan, I Ketut. 2012. Pusaka Budaya Pura Tirta Empul dan Pengembangan Pariwisata. (Diakses 26 Oktober 2014). URL: http://iaaipusat.wordpress.com/tag/i-ketut-setiawan/

Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Desrinasi Pariwisata, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta. Gava Media.

Yoety, A Oka. 1994. Komersialisasi Seni Budaya Dalam Pariwisata. Bandung. Angkasa

Wikipedia. 2014. Suku Toraja. (Diakses 26 Oktober 2014). URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja





 

Sabtu, 11 Oktober 2014

Contoh Tulisan Critical Review Dari Artikel Tourism and Culturan Development in Thailand



Tulisan ini adalah critical review dari artikel Tourism and Cultural Development in Thailand. Chapter 3, yang ditulis oleh Nuan Sarnsorn. Chapter 3 yang berjudul Tourism and Cultural Development in Thailand secara garis besar menjelaskan tentang perkembangan pariwisata di thailand yang terus meningkat dan berubahnya tradisi budaya yang diakibatkan makin berkembangnya pariwisata. Penulis merasa bahwa meningkatnya pendapatan ekonomi dari industry pariwisata membawa dampak negative tentang hilangnya esensi budaya tradisional dan berbagai kasus tentang kebijakan dan perubahan yang dilakukan pemerintah terhadap festival budaya membuat festival tersebut kehilangan unsur keasliannya. critical review ini membahas antara lain: Budaya Thailand, Pariwisata di Thailand, Wisata dan Pengembangan Budaya, Prosesi Menerangi Hias, dan Membuat Perahu Hias.
            Bagian pertama Budaya Thailand, Nuan Sarnsorn memaparkan tentang budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat thailand dan perubahan beberapa budaya tradisonal diakibatkan adanya kebijakan dari pemerintah dalam mengembangkan industri pariwisata sehingga banyak budaya lokal telah hilang nilai sosialnya. Namun penulis kurang jelas dalam menjelaskan tentang budaya seperti apa yang telah hilang nilai sosialnya sehingga pembaca sedikit kesulitan dalam memahami berbagai macam kebudayaan tradisional yang mulai hilang.
Pada bagian kedua tentang pariwisata di Thailand, penulis menjelaskan secara rinci tentang pariwisata, mulai dari awal mempromosikan pariwisata, kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pariwisata, dan jumlah kedatangan tamu dari berbagai Negara. Bagian kedua artikel ini memaparkan kerja sama antar Negara ASEAN dalam bidang pariwisata dan objek-objek wisata di setiap wilayah Negara tersebut. Yang menjadi kekurangan pada bagian kedua ini adalah tidak adanya penjelasan mengenai nama-nama daerah tujuan wisata, yang ditekankan hanyalah nama wilayah bagian Negara Thailand. namun secara garis besar tidak ada masalah dalam menjelaskannya karena pada dasarnya penyusun mampu menyajikan informasi yang lengkap secara baik.
Kemudian bagian ketiga yaitu Wisata dan Pengembangan Budaya. Dibagian ini pariwisata telah menjadi indikator penting dalam pertumbuhan ekonomi Negara, sehingga dari segi positif pemerintah telah menditribusikan pendapatan ekonomi tersebut untuk masyarakat dan segi negatif meningkatnya pendapatan ekonomi tampaknya telah mengabaikan unsur budaya. Selain itu penulis menjelaskan tentang persaingan dalam pengembangan pariwisata yang semakin sengit di Negara-negara sekitar, sehingga mengakibatkan pengeluaran anggaran semakin banyak dalam mempromosikan pariwisata. Dibagian ketiga ini, pandangan penulis terlalu umum sehingga para pembaca kurang mendapatkan kejelasan tentang bagaimana pengembangan budaya itu dilakukan dan adanya pengulangan contoh kasus antara lain akibat dari dampak pariwisata yang menghilangkan unsur keaslian budaya.
Selanjutnya dibagian ke empat yaitu prosesi menerangi perahu, penulis menjelaskan tentang apa itu prosesi menerangi perahu, tujuan diselenggarakannya prosesi tersebut, daerah yang menyelanggarakan acara dan alasan diselenggarakannya prosesi perahu diterangi serta maksud dari penyelenggaraan prosesi tersebut untuk apa. Dari pemaparan tersebut penulis sangat jelas dan detail dalam menguraikan isi-isi dibagian ini, sehingga para pembaca mengetahui secara jelas tentang apa  maksud dan tujuannya.
Dibagian terakhir yaitu Membuat Perahu Hias, dibagian terakhir ini penulis menjelaskan tentang bahan-bahan untuk membuat perahu, kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum pembuatan perahu dan puncak perayaan festival tradisional tersebut. Penulis juga menjelaskan secara detail tentang hilangnya esensi asli festival menerangi perahu sebagai tradisi budaya Thailand, dijaman dulu tradisi tersebut hanya dilaksanakan di provinsi Nhakon Phanom dengan bentuk kapal yang masih sederhana dan penuh dengan nilai  spiritual yang terkandung didalamnya. Dan pada saat ini bentuk kapal tersebut berubah lebih besar dan dimodifikasi supaya terlihat menarik bagi para wisatawan dan membutuhkan dana yang besar untuk membuatnya.
            Adanya kepentingan-kepentingan pemerintah serta perusahaan yang bergerak di industri pariwisata menyebabkan budaya tradisional  terlihat sangat dikomersialkan demi meningkatkan perekonomian serta menambah devisa Negara. Festival menerangi perahu hanyalah perayaan masyarakat dalam menaggapi keyakinan dan untuk hiburan mereka sendiri, ketika pemerintah ikut berpatisipasi sehingga dikembangkanlan untuk kepentingan pariwisata     
            Setelah perayaan tersebut selesai, banyak permasalahan baru yang muncul antara lain kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan. Dari hasil penulisan dibagian terakhir ini penulis menjelaskan bahwa Transformasi budaya tradisional mengakibatkan kurangnya kesadaran pemerintah dalam menjaga budaya asli daerah. Kecendrungan mereka yang hanya mementingkan perekonomian serta pendapatan daerah  yang mengakibatkan eksistensi tradisi budaya asli hilang. Banyak orang khawatir berapa tahun lagi acara tersebut akan tetap berlangsung, mengingat partisipasi lokal sudah semakin berkurang. Situasi seperti ini banyak  terjadi disetiap Negara, dimana ada banyak tradisi asli budaya hilang karena komersialisasi.
Dari pemaparan yang telah ada sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, pokok bahasan penulisan ini menarik, karena topik yang diangkat banyak terjadi di setiap Negara dimana suatu budaya telah menjadi bahan komesil karena pariwisata. Kedua penyusun mampu menjelaskan maksut dan tujuan dari penulisan yang dibuat dengan menggunakan sistematika penulisan yang baik, walaupun beberapa bagian terjadi pengulangan kasus yang terjadi. Ketiga kesimpulan diberikan oleh penyusun cukup baik, walaupun secara keselurah kesimpulan tidah menjelaskan bagian-bagian dari penuliasn ini. Yang terakhir, ulasan yang diberikan penulis sangat bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca mengenai pariwisata dan pengembangan budaya, yang mungkin sering kita alami didaerah tujuan wisata dan juga bisa sebagai bahan pertimbangan untuk evaluasi perbaikan dalam mengembangkan suatu budaya tradisional.