BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya Merupakan suatu manifestasi
dari akal atau budi manusia yang terbentuk dari banyak unsur, mulai dari sistem
kepercayaan, agama, bahasa, mata pencaharian, hingga seni, yang kemudian
menjadi cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya bersifat jamak, aktif, dan hidup. Karena berada
dalam dimensi dan aspek yang berbeda, maka masing-masing masyarakat yang
tinggal dan menetap di suatu kawasan pun memiliki budaya yang berbeda.
Perbedaan itulah yang membuatnya unik dan menark bagi yang lain. Nurdiansyah
(2014).
Di indonesia sendiri, pariwisata
budaya telah ada sejak berabad-abad lampau. Pada era kerajaan Hindu-Budha,
perjalanan wisata dilakukan untuk mengunjungi tempat-tempat sakral (bangunan
warisan leluhur sebagai produk budaya). Motivasi untuk mendapatkan pengalaman
baru secara batiniah di tempat yang berbeda dianggap penting sebagai relaksasi
dan memperkaya diri secara batiniah.
Sebagaimana dirumuskan dalam
makalah seminar (1971) dalam Picard (2006), Pariwisata budaya nampak sebagai
ragam pariwisata yang melestarikan sumber-sumber yang dimanfaatkannya, yaitu
ragam pariwisata yang mengembangkan budaya sembari dia sendiri berkembang
secara berkelanjutan. Pariwisata budaya telah menjadi daya tarik tersendiri
terhadap pariwisata Indonesia,
beragamnya budaya daerah menjadikan magnet penting bagi pariwisata Indonesia
dalam menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi dan menikmati beragam
budaya daerah tersebut. Makin meningkatnya tingkat kunjungan wisatawan oleh
adanya budaya, mengakibatkan potensi tersebut menjadi salah satu yang harus dikembangkan
dan dipromosikan untuk lebih meningkatkan lagi tingkat kunjungan wisatawan maupun
tingkat pendapatan ekonomi Indonesia.
Pariwisata budaya menjadi aspek penting
dalam pengembangan suatu daerah pariwisata, banyak daerah di Indonesia mengembangkan
budayanya sebagai objek wisata sebagai tujuan wisatawan, seperti Tanak Toraja, Lombok,
Bali dan masih banyak daerah lain yang memiliki keunikan-keunikan budaya yang
bisa dikembangkan sebagai daearah tujuan wisata. Akan tetapi hadirnya
pariwisata di Indonesia membawa paradigma baru, dimana budaya yang dulunya
sebagai konsumsi masyarakat daerah, sekarang telah berubah menjadi konsumsi
bagi para wisatawan. Hal yang semacam itulah yang dimaksudkan dengan “Komersialisasi
Budaya” dalam pariwisata.
Komersialisasi yaitu menyajikan
suatu budaya seperti kesenian tradisional yang tidak dilakukan seperti yang
biasa hidup dalam masyarakat, tetapi disesuaikan dengan waktu dan daya beli
wisatawan yang menyaksikannya, Yoety (1994). Bentuk komersialisasi budaya itu
tidak hanya terjadi dalam adat istiadat dan kesenian daerah saja, tetapi
meliputi semua sektor yang banyak kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan,
seperti misalnya seni patung, seni lukis, seni membatik, seni pahat dan banyak
kerajinan lainnya yang sering menjadi incaran para wisatawan. Kehadiran
wisatawan pada upacara atau ritual yang dilakukan sebagai sebuah bentuk
ekspresi dan rasa syukur, seperti perayaan panen, pesta kelahiran, perkawinan,
maupun kematian, telah membuka peluang bagi pihak pengelola (pengada layanan
wisata, pemerintah, dan tour operator)
dan masyarakat lokal terhadap penggalian manfaat. Apa yang awalnya bagi masyarakat
adalah privat menjadi publik, sacral menjadi sekuler.
Hal ini dilakukan secara sadar dan
terencana karena tujuan utamanya untuk konsumsi wisatawan tanpa menghiraukan
kualitas yang seharusnya dipelihara. Kejadian semacam ini sangat merisaukan
banyak kalangan terutama yang membenahi budaya di daerahnya. Mereka melihat
sudah demikian gampangnya pemerintah dan pemandu-pemandu wisata menjual budaya
untuk konsumsi wisatawan, tanpa memperhatikan akibatnya lebih jauh. Wajar kalau
timbul kekhawatiran kalau daerah-daearah yang memiliki beragam budaya larut
dalam kehendak para wisatawan yang datang berkunjung silih berganti. Walaupun
disatu sisi, secara ekonomi hal ini akan meningkatkan perekonomian daerah.
Namun di sisi lain, hal ini telah menggerus akar budaya sehingga cukup
mengkhawatirkan. Maka dari itu, didalam penulisan makalah ini, penulis ingin
menguraikan beberapa hal tentang dampak komersialisasi budaya dalam pariwisata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pariwisata, Budaya, dan Pariwisata Budaya
Mathieson
dan Wall (1982) dalam Kurniansah (2014) mendefinisikan pariwisata sebagai
serangkaian aktivitas berupa perpindahan orang untuk sementara waktu ke suatu
tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, aktivitas yang
dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan
yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya baik selama dalam perjalanan maupun
dilokasi tujuannya. Didalam UU No. 10 Tahun 2009, dalam Sunaryo (2013),
keseluruhan lingkup kegiatan pariwisata diberikan batasan pengertian sebagai;
berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah
daerah.
Menurut
Astuti (2012), budaya secara umum disebut sebagai hasil karya, rasa dan cipta
manusia yang didasarkan pada karsa. Selama ini pemahaman mengenai budaya pun
juga di pahami secara umum sebagai sesuatu yang baik dan dilakukan secara
berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan. Namun konsepsi lebih kompleks
dikemukakan oleh Kleden mengenai budaya, Budaya sebagai sistem ide misalnya,
terlihat perbedaan antara penekanan kepada ide-ide kognitif, yang menyebabkan
budaya dipandang sebagai sistem makna (system
of meaning), atau penekanan kepada ide-ide normativ, yang menyebabkan
budaya dipandang sebagai system nilai (value
system)
Pariwisata
budaya terus berkembang dan tak hanya dilihat sebagai pemaknaan pada
perbedaan/keberagaman. Proses pariwisata budaya yang besar dan mengakibatkan
efek domino pada berbagai bidang, tentu saja memberikan dispossible income (aktivitas ekonomi), khususnya bagi host community (tuan rumah). Kehadiran
orang-orang asing telah memberikan dampak terhadap pemenuhan yang harus
dibayarkan (akomodasi, amenitas, transportasi, fasilitas, dan jasa lainnya),
termaksud kesediaan membayar atraksi yang diinginkan. Jika sebelumnya berbagai
upacara/ritual dan produk-produk kriya hanya digunakan untuk kalangan sendiri
dengan makna dan fungsi khusus, maka kehadiran wisatawan telah menambahkan nilai lain terhadap produk
dan atraksi budaya.
Sebagai
produk/atraksi budaya yang menawarkan mimpi maupun kesenangan wisatawan
(pengalaman dan keunikan), sulit untuk kemudian menentukan standar dari suatu produk pariwisata budaya karena
setiap wisatawan memiliki ekspektasi yang berbeda. Biasanya, produk pariwisata
budaya memiliki sifat intangible yang
lebih dominan daripada tangible
(terkait nilai yang abstrak) dan tentu saja heterogen (beragam). Melalui
pengelolaan sumber daya, pihak pengelola berusaha dengan keras untuk
mengkomersialkan budaya sebagai daya tarik wisata. Bisa dikatakan kemudian
bahwa produk pariwisata budaya dapat berubah menjadi manifestasi mimpi
wisatawan sebagai akibat dari kapitalis industri pariwisata.
Beragam
perubahan kemudian terus diupayakan dalam bisnis pariwisata budaya guna
melakukan penyesuaian atau rekayasa terhadap sumber daya (atraksi) guna
pemenuhan ekspektasi wisatawan. Tentu saja, pengembangan inovasi inilah yang
kemudian memberikan kontribusi positif pada pembangunan infrastruktur,
akomodasi, pelayanan, transportasi dan aksesibilitas terhadap lingkungan alam
maupun lingkungan sosial budaya manusia.
Fake cultural
attraction/production, modifikasi budaya, dan tourisfication (turisfikasi) terhadap
budaya membawa budaya kadang ter-diposisikan menjadi “objek tontonan” di mana
wisatawan yang menonton kerap dipandang subjek yang paling berpengaruh dan
menentukan, Nurdiansyah (2014).
Ketika
budaya sebagai suatu sumber daya diposisikan lebih rendah dari kepentingan
wisatawan, warisan budaya (fisik maupun non-fisik) dan masyarakat lokal menjadi
sumber daya yang dieksploitasi (relasi eksploitatif), sehingga terjadilah
kesenjangan yang kemudian menimbulkan konflik dan mengancam budaya itu sendiri.
Pergeseran cara pandang, upacara/atraksi budaya dapat dilihat secara sempit
sebagai “kedatangan wisatawan” dan “uang” (tourist
magnet). Ungkapan “one dollar for a
photo” seringkali diungkapkan masyarakat adat yang telah akrab difoto oleh
wisatawan di banyak tempat.
2.2
Dampak Komersialisasi Budaya
Pariwisata dapat
mengakibatkan budaya lokal menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan ketika
upacara-upacara ritual, upacara adat tradisional diadakan untuk permintaan,
harapan dan kepuasan wisatawan maka akan muncul istilah “rekonstruksi
kebudayaan”. Pada saat suatu daerah dinyatakan menjadi daerah tujuan wisata,
maka permintaan akan souvenir, benda-benda seni dan semacamnya merupakan
komuditas belaka yang pada akhirnya akan mempengaruhi pergeseran nilai budaya masyarakat
di tempat tersebut, karena tempat-tempat suci dan sakral tidak lagi dihormati
dan disegani, kecuali hanya sebagai komoditas yang layak untuk dijual dan
dikomersialkan.
Berikut beberapa contoh dampak negatif daripada kegiatan
pariwisata sudah cukup banyak kita ketahui, di antaranya yang perlu kita
kemukakan adalah:
- Komersialisasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya, Kabupaten Gianyar-Bali.
Menurut Setiawan (2012) Pura Tirta
Empul di Desa Manukaya pada awalnya bukan produk budaya yang sengaja diciptakan
untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan masa kini Pura Tirta Empul
mengalami modifikasi yang mengarah komersialisasi karena ditata untuk memenuhi
selera pasar. Kepentingan kapitalisme menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat
komoditas yang bernilai jual. Dalam hal ini, pasar turut menentukan arah
komodifikasi Pura Tirta Empul dalam penampilannya, yakni objek, kualitas bahan,
ornamen atau ragam hias, pewarnaan akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk
dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar.
Berdasarkan asumsi dasar mengenai
keterkaitan antara komoditas Pura Tirta Empul dengan kehidupan sosial budaya
masyarakat, maka Pura Tirta Empul sebagai produk budaya manusia merupakan hasil
kebudayaan dari suatu sistem yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang
saling terkait, khususnya antara unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur
seni, relegi, dan komersial tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan,
saling terkait, atau bahkan ada saling bergantung antara satu dengan yang
lainnya. Keadaan saling terkait tersebut berorientasi pada kehidupan atau
kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu kesatuan secara menyeluruh, Bagus
(1975) dalam Setiawan (2012).
Dari hasil penelitian yang
dilakukan Setiawan, dampak komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks
pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat tidak dapat secara
cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak terjadi
seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
dampak komodifikasi Pura Tirta Empul terhadap kehidupan sosial budaya
masyarakat Manukaya cenderung bersifat negatif yang dapat mendatangkan
kerugian, seperti terjadinya komersialisasi tempat suci, kaburnya identitas dan
nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala
hiperspiritualitas.
- Komersialisasi Balai Banjar Bentuk Ekonomi Kreatif
Berdasarkan hasil
kutipan di Bali Post (2013). Balai pertemuan atau balai banjar yang selama ini
berfungsi untuk aktivitas adat mulai bergeser. Kini balai banjar tak hanya
berfungsi sebagai tempat menyelenggarakan bazar, rapat bulanan, latihan menari
dan lainnya, tetapi lebih kepada komersialisasi.
Hal itu dinilai
Pengamat Ekonomi Universitas Undiknas University, Prof. Gede Sri Darma, D.B.A.,
di Denpasar, sebagai salah satu bentuk dari ekonomi kreatif, yang meningkatkan
fungsi semula hanya sebagai kegiatan adat dan menjadi ladang bisnis. Langkah
ini untuk meningkatkan pendapatan desa adat. "Itu yang namanya salah satu
bentuk ekonomi kreatif. Lahan yang bisa dijadikan uang mesti dioptimalkan.
Asalkan dengan catatan bukan dimanfaatkan sebagai tempat yang bertolak belakang
dengan ajaran agama," ungkapnya.
Dikatakan,
komersialiasasi balai banjar sudah terjadi sejak dulu. Contohnya, Banjar Teges
yang berlokasi di Kabupaten Gianyar yang difungsikan sebagai tempat kuliner.
Banjar Titih Denpasar yang difungsikan sebagai pasar buah. "Betul fungsi
dasar balai banjar adalah untuk kegiatan adat pada saat tertentu, namun waktu
di luar itu bisa dimaksimalkan untuk kegiatan yang bisa menambah pendapatan
adat pula," katanya.
Dia berpendapat fungsi
balai banjar harus dimaksimalkan, selain untuk kegiatan adat dapat juga
dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan, sehingga beban yang dipikul masyarakat
di lingkungan tersebut bisa sedikit berkurang. "Di tengah-tengah
pemberdayaan aset yang dimiliki mestinya krama banjar juga memaksimalkan aset
yang dimiliki, tidak hanya tergantung dari donasi krama pendatang,"
tegasnya.
Seperti diketahui,
fungsi dan peran balai banjar semakin kompleks dan luas. Untuk daerah perkotaan
atau yang sudah maju, beberapa memiliki fungsi secara ekonomi. Ada juga yang
ditemui balai banjar yang berfungsi sebagai kantor untuk LPD atau koperasi, sebagai
sarana pendidikan pra-sekolah (Taman Kanak-kanak) dan mungkin saja sudah ada
balai banjar yang berfungsi sebagai restoran atau kafe untuk yang berlokasi di
areal ramai wisatawannya seperti Kuta.
- Komersialisasi Suku Toraja, Sulawesi Selatan
Sebelum tahun 1970-an,
Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50
orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis
menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni.
Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geograpic
dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan
mengunjungi Toraja dan pada 1981, Seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika
Utara. "Tanah raja-raja surgawi di
Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat
dunia luar.
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian
kedua setelah Bali".
Pariwisata menjadi sangat meningkat menjelang tahun 1985, terdapat 150.000
wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),
dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun
1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan
restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada
tahun 1981, Wikipedia (2014).
Para pengembang
pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki
kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi
desa zaman batu
dan Pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".
Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja
lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal
tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan
antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang
luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para
pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun
1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional
sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan
pada daerah-daerah tersebut misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan
dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka
masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah
ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa kete kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata"
menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung
beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa
pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut
mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan
rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak
mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang
diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang
ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya.
Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan,
dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
- Tari Gendang Beleq, Lombok-Nusa Tenggara Barat
Tari Gendang Beleq adalah salah
satu tarian dari Lombok, demikian karena memakai gendang yang sangat besar.
Kesenian Gendang Beleq sudah menjadi tradisi di Suku Sasak sejak lama dan
merupakan kesenian peninggalan Kerajaan Selaparang Lombok yang menguasai
sebagian wilayah pulau Lombok bagian timur pada zaman kerajaan Anak Agung.
Disebut Gendang Beleq, karena menggunakan Gendang berukuran besar yang dalam
bahasa sasak disebut Beleq. Kesenian Gendang Beleq, awal masuknya di pulau
Lombok, digunakan oleh para tokoh agama untuk menyebarkan islam di daerah ini.
Saat itu, kesenian ini dimainkan untuk mengumpulkan warga, yang akan diberikan ceramah agama
maupun kegiatan keagamaanlainnya.
Untuk memainkan
kesenian ini membutuhkan kekompakan dalam kelompok, sehingga harus dimainkan
secara utuh. Musik yang dimainkan, tari yang ditampilkan dalam kesenian Gendang
Beleq, menggambarkan jiwa satria masyarakat Suku Sasak Lombok dalam mempertahankandaerahnya.
Dalam
kaitannya tentang komersialisasi budaya, tari Gendang Beleq sekarang telah
banyak berubah seperti berkurangnya jumlah penari dan bercampurnya berbagai
alat musik elektronik. Biasanya tari gendang Beleq dipentaskan untuk
acara-acara tradisional Lombok, saat ini tari Gendang Beleq telah keluar dari
tradisi yang sebenarnya, dulunya hanya dipertunjukkan didepan warga, sekarang
seni tari tersebut telah banyak diperlihatkan dan dipertunjukkan
ditempat-tempat wisata bahkan di dalam area hotel sebagai hiburan para tamu.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Kegiatan
komersialisasi budaya mengakibatkan beberapa hal antara lain Komersialisasi
Pura Tirta Empul yang awalnya bukan produk budaya sekarang telah menjadi
komersialisasi tempat suci, kaburnya identitas dan nilai sejarah, dan
tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala hiperspiritualitas. Komersialisasi
Balai Banjar yang dulunya sebagai tempat rapat bulanan, latihan menari,
dan aktivitas
adat. Sekarang telah berubah menjadi tempat kegiatan bazaar, dan koperasi. Komersialisasi Suku Toraja yang dulunya sebuah
ritual kegamaan, sekarang citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para
wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat. Dan terakhir Tari
Gendang Beleq yang dulunya hanya dipentaskan untuk kebudayaan daerah, sekarang
telah menjadi konsumsi wisatawan akibatnya tari tersebut mengalami perubahan
dari jumlah penari dan alat musik yang telah modern.
Kegiatan
komersialisasi budaya cenderung mengarah untuk meningkatkan perekonomian warga
maupun pemerintah, serta perubahan
budaya tersebut cenderung disengaja karena kabutuhan pariwisata. adanya campur
tangan pemerintah serta pihak swasta yang bergerak dibidang pariwisata membuat
budaya asli daerah cenderung tergerus akan hadirnya pariwisata
3.2
Saran
Untuk pemerintah, sebaiknya membuat kebijakan untuk tetap
mempertahankan budaya asli daerah. Pemerintah seharusnya banyak berperan untuk
mengakomodir jalannya kegiatan tersebut serta memberi dukungan dengan cara memperbaiki infrastruktur daerah
wisata, melakukan promosi, serta memberikan pengetahuan penting tentang
kebudayaan dan pariwisata itu sendiri. Sehingga masyarakat tidak hanya melakuakn
kegaitan pementasan budaya demi meningkatkan perekonomian mereka, tetapi juga
akan tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka sebagai warisan budaya yang
tidak bisa dirubah demi aktivitas pariwisata.
DAFTAR
PUSTAKA
Astuti, Yuli Ferera. 2012. Konsepsi Komersialisasi Seni Budaya Hingga Nasib Eksistensi Gedung Wayang Orang Sriwedari. (Diakses 23 Oktober 2014). URL: http://fererachul.blog.fisip.uns.ac.id/konsepsi-komersialisasi-seni-budaya-hingga-nasib-eksistensi-gedung-wayang-orang-sriwedari/
Amalia, Syifa, 2012. Definisi Budaya.
(Diakses 19 October 2014). URL: http://syifaamalia22.wordpress.com/2012/04/15/definisi-budaya/
Bali Post. 2013. Komersialisasi Balai
Banjar Bentuk Ekonomi Kreatif. (Diakses 26 Oktober). URL: https://www.facebook.com/balipost/posts/570967419636570
Kurniansah, Rizal. 2014. Beberapa Hal
Tentang Pariwisata dan Definisinya. (Diakses 23 oktober 2014). URL: http://rizalmpar.blogspot.com/2014/09/beberapa-hal-tentang-pariwisata-dan.html
Nurdiansyah. 2014. Peluang dan Tantangan
Pariwisata Indonesia. Bandung. Alfabeta.
Nurdin, Muhammad. ----. Dampak Negatif
Industri Pariwisata Pada Lingkungan Sosial Budaya. Artikel. Surabaya. Universitas Airlangga.
Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata
Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Setiawan, I Ketut. 2012. Pusaka Budaya
Pura Tirta Empul dan Pengembangan Pariwisata. (Diakses 26 Oktober 2014). URL: http://iaaipusat.wordpress.com/tag/i-ketut-setiawan/
Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Desrinasi
Pariwisata, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta. Gava Media.
Yoety, A Oka. 1994. Komersialisasi Seni
Budaya Dalam Pariwisata. Bandung. Angkasa
Wikipedia. 2014. Suku Toraja. (Diakses
26 Oktober 2014). URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar