Selasa, 24 Maret 2015

Destination Management Organization (DMO)



Dalam publikasi Pembentukan dan Pengembangan Destination Management Organization (DMO) yang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (sekarang Kementerian Parwisata), DMO didefinisikan sebagai: Tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan, proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal.
Menurut UNWTO, DMO memiliki fungsi untuk memimpin dan mengkoordinasikan elemen destinasi (atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra/image, harga), marketing, maupun lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). Dalam hal ini, DMO menjadi sebuah perspektif yang hendak memberikan ruang partisipasi bagi semua pihak untuk terlibat dalam mengelola sebuah destinasi pariwisata. DMO tidak hanya berperan guna pengembangan produk, marketing dan promosi, serta perencanaan dan penelitian saja, melainkan memainkan peran sebagai pembentukan tim dan kemitraan, jalinan masyarakat (community relation), serta koordinasi dan kepemimpinan. (Destination Consultancy Group, 2010).
Menurut Cecar Castaneda (2010), keutungan yang bisa digali dari DMO adalah establishing a competitive edge, ensuring tourism sustainability, spreading the benefits of tourism, improving tourism yield, dan building a strong and vibrant brand identity. Di Indonesia sendiri DMO diarahkan untuk bisa berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal, pemasar lokal, koordinator industri, lembaga yang mewakili pengelola, dan membangun nilai unik (kebanggan) komunitas lokal.
Menurut Frans Terdapat empat tahap dalam pengembangan DMO yaitu:
1.      Gerakan peningkatan kesadaran kolektif dari berbagai pemangku kepentingan pada tahap pertama sehingga memiliki persepsi yang sama dalam membangun destinasi pariwisata.
2.      Pengembangan manajemen yang meliputi penataan dan perencanaan peta jalan pembangunan destinasi pariwisata.
3.      Pengembangan bisnis untuk mendorong kemampuan wirausaha sehingga masyarakat lokal mendapat manfaat dari aktivitas pariwisata.
4.      Penguatan organisasi atau kelembagaan sehingga setiap pemangku kepentingan mempunya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap destinasi wisata tersebut.
Terdapat 15 lokasi DMO yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam rencana strategis industri pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata yang dikelola secara profesional dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, yaitu Sabang, Danau Toba. Selanjutnya, kawasan kota tua Jakarta, Tanjung Puting, Pangandaran, Borobudur, Bromo dan Semeru serta kawasan Tengger, Danau Batur, Rinjanji, Pulau Komodo, Wakatobi, Derawan, Tana Toraja, Bunaken, serta Raja Ampat. Menurut Frans, tujuan DMO di setiap destinasi itu adalah untuk menjembatani berbagai aktor dan pemangku kepentingan dalam pengembangan industri pariwisata sehingga tidak terjadi rivalitas atau duplikasi peran.
Dengan rencana pengembangan destinasi diatas, perlu adanya pengelolaan terhadap destinasi pariwisata sehingga memiliki fungsi dalam prediksi maupun mengupayakan  tindakan preventif terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Pengelolaan juga dibutuhkan sebagai jawaban atas tuntutan keberlanjutan industri secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan. Melihat pariwisata sebagai industri, tentu saja, memiliki kecenderungan terhadap eksploitasi (touristfication) dari sumber daya alam maupun manusia yang memainkan peran penting dalam elemen-elemen pariwisata, seperti atraksi (alam dan budaya).
Dalam hal pengelolaan, partisipasi masyarakat lokal untuk mengutarakan pandangan dan pendapatnya dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, merupakan aspek penting terkait pengelolaan destinasi guna menghindari terjadinya resistensi, konflik, sekaligus memberdayakan dan memberikan keuntungan (profit) bagi mereka. Dengan terbukanya ruang bagi masyarakat lokal, akan menjadi alternatif upaya untuk menghindari adanya relasi eksploitatif yang memposisikan masyarakat lokal di sekitar destinasi pariwisata, bukan hanya sebagai buruh yang bekerja untuk pengelola, tetapi justru mereka-lah bagian dari aktor tersebut.
Salah satu lokasi DMO yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam rencana strategis industri pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata adalah DMO daerah Flores. Keberadaan DMO Flores agak berbeda dengan 14 DMO lain, DMO Flores merupakan destinasi wisata yang paling besar wilayahnya, sebab mencakup 8 kabupaten, yakni dari Manggarai Barat hingga Flores Timur. Program ini untuk mensinergikan antara aksesibilitas, infrastruktur publik dan pariwisata, masyarakat, serta daya tarik obyek wisata.
Destination Management Organization (DMO) dalam pengembangan pariwisata, Indonesia juga harus mampu mengembangkan masyarakat kreatif sebagai bagian penting, sekaligus menjadi daya tarik utama suatu daerah tujuan wisata. DMO Flores sendiri telah melakukan pengembangan masyarakat kreatif tersebut melalui pengelolaan kerajinan Desa Raporendu-Ende. Menurut Ibu Dewi Sri yang menjadi salah satu pengelola kerajianan di Desa Raporendu mengatakan, kelompok perajin binaannya mendapat dana pengembangan kelompok sebesar Rp 70 juta dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata. Anggotanya meliputi 15 kelompok perajin tenun ikat (tiap kelompok beranggotakan 10-20 orang), lalu 15 orang kelompok kuliner pangan lokal, dan perajin kain bordir 10 orang. "Kami telah mengembangkan pembuatan sajadah dari kain tenun ikat bermotif  masjid. Kami juga membuat tudung saji, tas, tempat tisu, baju bodo, dengan kombinasi kain tenun dan bordiran. Kami membuat pula produk kuliner seperti rolade ikan, bakso ikan, dan abon ikan," kata Dewi Sri.
DMO memang berupaya untuk menjawab berbagai tantangan industri pariwisata ke depannya, namun untuk menjadikan DMO sebagai suatu paradigma dan strategi, tidak akan terlepas dari upaya terhadap bagaimana seharusnya menjadikan industri pariwisata lebih berkelanjutan (ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan). Pariwisata sebagai industri yang miltidimensional dan lintas sektor, mendesak kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi, aktivis (organisasi non-pemerintah), serta media massa untuk terlibat ke dalam sebuah “kapal” dengan keberlanjutan industri sebagai dermaganya. Bagi negara berkembang dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu besar, konsep pengembangan pariwisata melalui DMO benar-benar diperlukan menjaga keberlangsungan secara menyeluruh bagi semua pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dari kedatangan wisatawan di sebuah destinasi pariwisata.

Sumber artikel Resume.
http://travel.kompas.com/read/2012/04/04/22282335/DMO.Harus.Mampu.Kembang kan.Kreativitas.Masyarakat

http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/38491/dmo-tidak-bisa-diwujudkandalam-jangka-pendek

http://jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-planning-and-development/188-dmosebagai-strategi-pengelolaan-pariwisata.html
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar