Dalam
publikasi Pembentukan dan Pengembangan Destination
Management Organization (DMO) yang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Indonesia (sekarang Kementerian Parwisata), DMO didefinisikan sebagai:
Tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup
fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi
destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi
dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat,
pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan,
proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan,
volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta
manfaat bagi masyarakat lokal.
Menurut
UNWTO, DMO memiliki fungsi untuk memimpin dan mengkoordinasikan elemen
destinasi (atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra/image, harga), marketing, maupun lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). Dalam hal ini, DMO menjadi
sebuah perspektif yang hendak memberikan ruang partisipasi bagi semua pihak
untuk terlibat dalam mengelola sebuah destinasi pariwisata. DMO tidak hanya
berperan guna pengembangan produk, marketing dan promosi, serta perencanaan dan
penelitian saja, melainkan memainkan peran sebagai pembentukan tim dan
kemitraan, jalinan masyarakat (community relation), serta koordinasi dan
kepemimpinan. (Destination Consultancy Group, 2010).
Menurut
Cecar Castaneda (2010), keutungan yang bisa digali dari DMO adalah establishing a competitive edge, ensuring
tourism sustainability, spreading the benefits of tourism, improving tourism
yield, dan building a strong and vibrant brand identity. Di Indonesia
sendiri DMO diarahkan untuk bisa berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal,
pemasar lokal, koordinator industri, lembaga yang mewakili pengelola, dan
membangun nilai unik (kebanggan) komunitas lokal.
Menurut
Frans Terdapat empat tahap dalam pengembangan DMO yaitu:
1. Gerakan
peningkatan kesadaran kolektif dari berbagai pemangku kepentingan pada tahap
pertama sehingga memiliki persepsi yang sama dalam membangun destinasi
pariwisata.
2. Pengembangan
manajemen yang meliputi penataan dan perencanaan peta jalan pembangunan
destinasi pariwisata.
3. Pengembangan
bisnis untuk mendorong kemampuan wirausaha sehingga masyarakat lokal mendapat
manfaat dari aktivitas pariwisata.
4. Penguatan
organisasi atau kelembagaan sehingga setiap pemangku kepentingan mempunya rasa
memiliki dan tanggung jawab terhadap destinasi wisata tersebut.
Terdapat
15 lokasi DMO yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam rencana strategis
industri pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata yang dikelola
secara profesional dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, yaitu
Sabang, Danau Toba. Selanjutnya, kawasan kota tua Jakarta, Tanjung Puting,
Pangandaran, Borobudur, Bromo dan Semeru serta kawasan Tengger, Danau Batur,
Rinjanji, Pulau Komodo, Wakatobi, Derawan, Tana Toraja, Bunaken, serta Raja
Ampat. Menurut Frans, tujuan DMO di setiap destinasi itu adalah untuk menjembatani
berbagai aktor dan pemangku kepentingan dalam pengembangan industri pariwisata
sehingga tidak terjadi rivalitas atau duplikasi peran.
Dengan
rencana pengembangan destinasi diatas, perlu adanya pengelolaan terhadap
destinasi pariwisata sehingga memiliki fungsi dalam prediksi maupun
mengupayakan tindakan preventif terhadap
segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Pengelolaan juga dibutuhkan
sebagai jawaban atas tuntutan keberlanjutan industri secara ekonomi,
sosial-budaya, dan lingkungan. Melihat pariwisata sebagai industri, tentu saja,
memiliki kecenderungan terhadap eksploitasi (touristfication) dari sumber daya alam maupun manusia yang
memainkan peran penting dalam elemen-elemen pariwisata, seperti atraksi (alam
dan budaya).
Dalam
hal pengelolaan, partisipasi masyarakat lokal untuk mengutarakan pandangan dan
pendapatnya dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, merupakan aspek
penting terkait pengelolaan destinasi guna menghindari terjadinya resistensi,
konflik, sekaligus memberdayakan dan memberikan keuntungan (profit) bagi
mereka. Dengan terbukanya ruang bagi masyarakat lokal, akan menjadi alternatif
upaya untuk menghindari adanya relasi eksploitatif yang memposisikan masyarakat
lokal di sekitar destinasi pariwisata, bukan hanya sebagai buruh yang bekerja
untuk pengelola, tetapi justru mereka-lah bagian dari aktor tersebut.
Salah
satu lokasi DMO yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam rencana
strategis industri pariwisata untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata
adalah DMO daerah Flores. Keberadaan DMO Flores agak berbeda dengan 14 DMO
lain, DMO Flores merupakan destinasi wisata yang paling besar wilayahnya, sebab
mencakup 8 kabupaten, yakni dari Manggarai Barat hingga Flores Timur. Program
ini untuk mensinergikan antara aksesibilitas, infrastruktur publik dan
pariwisata, masyarakat, serta daya tarik obyek wisata.
Destination Management
Organization (DMO) dalam pengembangan pariwisata,
Indonesia juga harus mampu mengembangkan masyarakat kreatif sebagai bagian penting,
sekaligus menjadi daya tarik utama suatu daerah tujuan wisata. DMO Flores
sendiri telah melakukan pengembangan masyarakat kreatif tersebut melalui
pengelolaan kerajinan Desa Raporendu-Ende. Menurut Ibu Dewi Sri yang menjadi
salah satu pengelola kerajianan di Desa Raporendu mengatakan, kelompok perajin
binaannya mendapat dana pengembangan kelompok sebesar Rp 70 juta dari Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata. Anggotanya meliputi 15
kelompok perajin tenun ikat (tiap kelompok beranggotakan 10-20 orang), lalu 15
orang kelompok kuliner pangan lokal, dan perajin kain bordir 10 orang.
"Kami telah mengembangkan pembuatan sajadah dari kain tenun ikat
bermotif masjid. Kami juga membuat
tudung saji, tas, tempat tisu, baju bodo, dengan kombinasi kain tenun dan
bordiran. Kami membuat pula produk kuliner seperti rolade ikan, bakso ikan, dan
abon ikan," kata Dewi Sri.
DMO
memang berupaya untuk menjawab berbagai tantangan industri pariwisata ke
depannya, namun untuk menjadikan DMO sebagai suatu paradigma dan strategi,
tidak akan terlepas dari upaya terhadap bagaimana seharusnya menjadikan
industri pariwisata lebih berkelanjutan (ekonomi, sosial-budaya, dan
lingkungan). Pariwisata sebagai industri yang miltidimensional dan lintas
sektor, mendesak kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta,
masyarakat, akademisi, aktivis (organisasi non-pemerintah), serta media massa
untuk terlibat ke dalam sebuah “kapal” dengan keberlanjutan industri sebagai
dermaganya. Bagi negara berkembang dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu
besar, konsep pengembangan pariwisata melalui DMO benar-benar diperlukan
menjaga keberlangsungan secara menyeluruh bagi semua pihak yang terkait
langsung maupun tidak langsung dari kedatangan wisatawan di sebuah destinasi pariwisata.
Sumber artikel Resume.
http://travel.kompas.com/read/2012/04/04/22282335/DMO.Harus.Mampu.Kembang
kan.Kreativitas.Masyarakat
http://www.antarajawabarat.com/lihat/berita/38491/dmo-tidak-bisa-diwujudkandalam-jangka-pendek
http://jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-planning-and-development/188-dmosebagai-strategi-pengelolaan-pariwisata.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar