Senin, 23 Maret 2015

Kapitalisasi Lingkungan Dan Komodifikasi Kebudayaan Dalam Pengembangan Pariwisata Di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat

1  Pengertian Kapitalisasi Lingkungan
     Kapitalisasi Lingkungan terdiri dari dua suku kata yaitu “Kapitalisasi” dan “Lingkungan”, merujuk dari keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 01/KM.12/2001. Kapitalisasi diartikan sebagai penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut.
     Sedangkan pengertian Lingkungan yang diperoleh di Halaman Wikipedia (2004) adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
       Maka dapat disimpulkan bahwa Kapitalisasi Lingkungan adalah suatu tindakan pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset baik itu aset sumber daya alam seperti tanah, air , energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh diatas tanah maupun di dalam lautan hingga siap pakai untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut.

2  Pengertian Komodifikasi Kebudayaan
            Komodifikasi kebudayaan Menurut Sariyanta (2012) berarti perubahan sebagian atau bahkan hampir seluruh budaya agar lebih komersial dan memiliki nilai jual yang tinggi yang tujuan utamanya adalah menarik minat wisatawan yang melihatnya. Hal ini membuat budaya tidak lagi hanya dinilai dari aspek sentimental, tetapi juga sudah dinilai dengan material (uang). Di satu sisi masyarakat dengan berbagai komponen di dalamnya berusaha melestarikan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh berbagai faktor, khususnya faktor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadikan masyarakat pendukung budaya dilematis.

3. Deskripsi Kasus Kapitalisasi Lingkungan
            Salah satu contoh kasus Kapitalisasi Lingkungan yang ada di Pulau Lombok yaitu pelanggaran zonasi wilayah pembangunan resort di Pulau Gili Trawangan oleh para pihak swasta. Pada Peta Tata Ruang yang tertuang dalam SK Gubernur NTB No. 500 tahun 1992 telah digambarkan batas-batas zonasi wilayah peruntukkan Resort Pariwisata Gili Trawangan. Peta Tata Ruang tersebut menggambarkan zonasi-zonasi wilayah peruntukkan akomodasi, wilayah peruntukkan wisata bahari, wilayah peruntukkan fasilitas penunjang, wilayah peruntukkan penyangga, wilayah peruntukkan permukiman dan perladangan, wilayah peruntukkan lapangan golf, dan wilayah peruntukkan tambak yang diperkenankan di Resort Pariwisata Gili Trawangan. Namun pada kenyataannya zonasi-zonasi yang telah dibuat dilanggar, usaha-usaha akomodasi menjamur, sehingga pembangunannya tidak hanya dilakukan pada zonasi wilayah peruntukkan akomodasi saja, melainkan sudah mencapai zonasi wilayah peruntukkan penyangga dan wilayah permukiman penduduk.
            Fenomena ini kemungkinan terjadi dikarenakan banyaknya pihak swasta yang tertarik dengan Resort Pariwisata Gili Trawangan dan ingin menanamkan infestasinya berupa usaha akomodasi di Gili Trawangan. Dengan banyaknya pihak yang tertarik untuk menanamkan investasinya di Gili Trawangan tentu disambut hangat oleh Pemerintah Daerah setempat karena pertimbangan akan menambah income daerah yang dapat digunakan untuk mengembangkan Resort Pariwisata Gili Trawangan. Dengan menjamurnya usaha-usaha akomodasi tentu saja wilayah peruntukkan akomodasi tidak dapat menampung lagi usaha-usaha akomodasi yang ada. Selain karena keterbatasan lahan wilayah peruntukkan akomodasi, menyebarnya usaha akomodasi juga dikarenakan pemilik usaha akomodasi ingin menempati lokasi baru yang masih sepi demi memperoleh pemandangan yang berbeda dengan usaha akomodasi yang lain. Oleh karena itu, keadaan ini menyebabkan pembangunan usaha akomodasi tidak hanya dilakukan pada wilayah peruntukkannya, namun juga merambah pada wilayah disekitarnya, yakni dilakukan pada wilayah peruntukkan penunjang, wilayah peruntukkan penyangga dan wilayah peruntukkan permukiman; yang notabene wilayah peruntukkan penyangga adalah kawasan hutan lindung. Keberadaan usaha akomodasi yang melebih batas yang diperkenankan telah menurunkan daya dukung lingkungan Gili Trawangan, berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem yang ada.
            Dalam tujuan fisik pengembangan pariwisata di NTB tercantum bahwa kepastian dan kesesuaian tata guna tanah yang diperuntukkan bagi pengembangan obyekobyek pariwisata, yang dapat diartikan bahwa seluruh tata guna lahan pada Resort Pariwisata Gili Trawangan agar disusun sedemikian rupa sehingga pengembangan Resort Pariwisata Gili Trawangan dapat terus berkesinambungan tanpa merusak kelestarian alam aslinya. Untuk menindaklanjutinya kemudian disusun Surat Keputusan Gubernur Dati I NTB No 500 tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang Resort Pariwisata Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan, yang sudah memuat peta tata ruang resort pariwisata Gili Trawangan, termasuk tata guna lahannya. Namun keberadaan Rencana Tata Ruang tadi tak lebih dari sekedar peta tata ruang wilayah peruntukkan resort pariwisata Gili Trawangan, karena pada kenyataannya penataan dan pengembangan resort pariwisata Gili Trawangan telah menyimpang dari apa yang telah direncanakan, terutama pada zonasi wilayah peruntukkan akomodasi dan persyaratannya.
            Dalam tujuan Peraturan Daerah Propinsi Dati I NTB No 9 Tahun 1989 tertulis agar memelihara keseimbangan lingkungan hidup yang serasi dan aman, yang dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil atau memindahkan pasir pantai serta segala macam kekayaan laut untuk keperluan apapun, serta larangan untuk mengotori pantai dengan berbagai macam limbah. Namun, karena kurang terkontrolnya aktifitas yang dilakukan wisatawan serta warga setempat ternyata telah mendatangkan kerusakan lingkungan baik daratan maupun wilayah perairan. Masih terkait dengan banyaknya usaha-usaha akomodasi yang ada di Gili Trawangan ternyata telah menyebabkan kerusakan lingkungan, baik itu daratan maupun perairan. Pengunjung yang menginap di usaha-usaha akomodasi tadi secara illegal mengambil kekayaan alam yang ada di lingkungan tersebut untuk dijadikan cinderamata. Bahkan masyarakat setempat-pun ikut mengumpulkan kekayaan alam yang berada di dalam lingkungannya untuk kemudian dijual kepada pengunjung sebagai cinderamata. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan bagi mereka untuk melakukannya dan kurangnya kesadaran penduduk serta wisatawan yang datang untuk ikut menjaga dan melestarikan lingkungan tempat tinggal mereka. Semua penyimpangan yang terjadi di Gili Trawangan bermula ketika tidak ditaatinya zonasi dan persyaratan bagi wilayah peruntukkan akomodasi di Gili Trawangan, penyimpangan ini saling tarik menarik satu sama lain, penyimpangan yang satu menarik penyimpangan yang lain, yang pada akhirnya kesemuanya menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan Resort Pariwisata Gili Trawangan.

4.  Deskripsi Kasus Komodifikasi Kebudayaan
            Salah satu contoh Komodifikasi Kebudayaan yang terjadi di PulauLombok adalah Komodifikasi Pura Batu Bolong demi kegiatan pariwisata. Pura Batu Bolong terletak di wilayah Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat, saat ini Pura Batu Bolong sangat dinikmati oleh para wisatawan karena keunikan maupun pemandangan alam di sekitas pura tersebut. Seperti namanya Pura Batu Bolong terletak di atas batu hitam Pantai Senggigi yang memiliki lubang atau lubang di tengah. Dengan posisinya yang mengarah ke laut, pura ini memiliki suasana keindahan tersendiri, sekilas Pura Batu Bolong ini akan mengingatkan kita pada Pura Tanah Lot yang ada di Bali, bangunan ibadah yang terletak di bibir pantai dengan posisi mengarah ke laut.
            Komodifikasi Pura Batu Bolong dalam konteks pariwisata menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam terkait dengan sosial budaya dan segala aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik lokal maupun asing sebagai konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat. Pura Batu Bolong sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal tersebut memunculkan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang dapat menimbulkan komodifikasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Para kapitalis menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan dan ranah kebudayaan, termasuk pusaka budaya Pura Batu Bolong.
            Saat ini Pura Batu Bolong telah keluar dari kesakralanya karena banyaknya para wisatawan yang berkunjung di pura ini tanpa memperhatikan tata krama, etika, maupun sikap yang baik pada saat mengunjungi Pura ini, pada saat masuk di Pura tersebut, wisatawan tidak menggunakan pakaian yang sopan layaknya memasuki tempat-tempat ibadah pada umumnya, wisatawan bebas saja memasuki wilayah Pura dengan Menggunakan celana pendek maupun membuang sampah semabarangan di sekitar Pura. Pura Batu Bolong telah menjadi sebuah komoditas dengan tujuan untuk dijual ke pasar, sehingga mengakibatkan Pura tersebut telah keluar dari kesakralannya sebagai tempat ibadah.

5.   Deskripsi Dampak Kapitalisasi Lingkungan

            Dampaknya terhadap lingkungan adalah degradasi fungsi dan manfaat hutan
dan lahan, serta terjadinya banjir dan hilangnya keanekaragaman hayati  yang menjadi kekhasan wilayah tersebut. Dampak lain misalnya berimbas  pada daerah resapan air yang mempengaruhi kualitas air minum bahkan  kekeringan.

6.  Deskripsi Dampak Komodifikasi Kebudayaan
a.         Dampak Positif
-       Meningkatnya lapangan kerja
-       Meningkatkanya lapangan usaha
-       Meningkatnya kesejahteraan masyarakat
-       Mendorong pertumbuhan sektor perdagangan masyarakat
-       Pendapatan daerah meningkat
-       Pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal, seperti kegiatan keagamaan, adat-istiadat dan tradisi,
-       Diterimanya pengembangan objek wisata dan kedatangan wisatawan olehmasyarakat lokal.
-       Wawasan dan cara pandang masyarakat lebih terbuka

b.         Dampak Negatif
            Komersialisasi tempat suci sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi dan pencemaran kesucian tempat suci Pudarnya identitas dan nilai sejarah Masyarakat menjadi Konsumerisme dan materialistis (komersial) sehingga nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban menjadi hilang dan terkorbankan. Selain itu, Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993) muncul karena industri pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu: Wisatawan, Masyarakat setempat, dan Hubungan wisatawan dan masyarakat.
            Dampak sosial budaya muncul apabila terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat ketika (1) wisatawan membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal dan pengusaha pariwisata mengubah sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan (3) wisatawan dan masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan munculnya ide-ide baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar