1 Pengertian
Kapitalisasi Lingkungan
Kapitalisasi Lingkungan terdiri dari
dua suku kata yaitu “Kapitalisasi” dan “Lingkungan”, merujuk dari keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 01/KM.12/2001. Kapitalisasi
diartikan sebagai penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk
memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan
kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka
menambah nilai-nilai aset tersebut.
Sedangkan pengertian Lingkungan yang
diperoleh di Halaman Wikipedia (2004) adalah kombinasi antara kondisi fisik
yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi
surya, mineral,
serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan
kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana
menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi
segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan
kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik.
Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air,
iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus
dan bakteri).
Maka dapat disimpulkan bahwa Kapitalisasi
Lingkungan adalah suatu tindakan pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk
memperoleh aset baik itu aset sumber daya alam seperti tanah, air , energi
surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh diatas tanah maupun di dalam
lautan hingga siap pakai untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi dalam rangka
menambah nilai-nilai aset tersebut.
2 Pengertian
Komodifikasi Kebudayaan
Komodifikasi
kebudayaan Menurut Sariyanta (2012) berarti perubahan sebagian atau bahkan
hampir seluruh budaya agar lebih komersial dan memiliki nilai jual yang tinggi
yang tujuan utamanya adalah menarik minat wisatawan yang melihatnya. Hal ini
membuat budaya tidak lagi hanya dinilai dari aspek sentimental, tetapi juga
sudah dinilai dengan material (uang). Di satu sisi masyarakat dengan berbagai
komponen di dalamnya berusaha melestarikan dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh berbagai faktor,
khususnya faktor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadikan
masyarakat pendukung budaya dilematis.
3. Deskripsi Kasus Kapitalisasi Lingkungan
Salah satu
contoh kasus Kapitalisasi Lingkungan yang ada di Pulau Lombok yaitu pelanggaran
zonasi wilayah pembangunan resort di Pulau Gili Trawangan oleh para pihak
swasta. Pada
Peta Tata Ruang yang tertuang dalam SK Gubernur NTB No. 500 tahun 1992 telah
digambarkan batas-batas zonasi wilayah peruntukkan Resort Pariwisata Gili
Trawangan. Peta Tata Ruang tersebut menggambarkan zonasi-zonasi wilayah
peruntukkan akomodasi, wilayah peruntukkan wisata bahari, wilayah peruntukkan
fasilitas penunjang, wilayah peruntukkan penyangga, wilayah peruntukkan
permukiman dan perladangan, wilayah peruntukkan lapangan golf, dan wilayah
peruntukkan tambak yang diperkenankan di Resort Pariwisata Gili Trawangan.
Namun pada kenyataannya zonasi-zonasi yang telah dibuat dilanggar, usaha-usaha
akomodasi menjamur, sehingga pembangunannya tidak hanya dilakukan pada zonasi
wilayah peruntukkan akomodasi saja, melainkan sudah mencapai zonasi wilayah
peruntukkan penyangga dan wilayah permukiman penduduk.
Fenomena
ini kemungkinan terjadi dikarenakan banyaknya pihak swasta yang tertarik dengan
Resort Pariwisata Gili Trawangan dan ingin menanamkan infestasinya berupa usaha
akomodasi di Gili Trawangan. Dengan banyaknya pihak yang tertarik untuk
menanamkan investasinya di Gili Trawangan tentu disambut hangat oleh Pemerintah
Daerah setempat karena pertimbangan akan menambah income daerah yang
dapat digunakan untuk mengembangkan Resort Pariwisata Gili Trawangan. Dengan
menjamurnya usaha-usaha akomodasi tentu saja wilayah peruntukkan akomodasi
tidak dapat menampung lagi usaha-usaha akomodasi yang ada. Selain karena
keterbatasan lahan wilayah
peruntukkan akomodasi, menyebarnya usaha akomodasi juga dikarenakan pemilik usaha
akomodasi ingin menempati lokasi baru yang masih sepi demi memperoleh
pemandangan yang berbeda dengan usaha akomodasi yang lain. Oleh karena itu,
keadaan ini menyebabkan pembangunan usaha akomodasi tidak hanya dilakukan pada
wilayah peruntukkannya, namun juga merambah pada wilayah disekitarnya, yakni
dilakukan pada wilayah peruntukkan penunjang, wilayah peruntukkan penyangga dan
wilayah peruntukkan permukiman; yang notabene wilayah peruntukkan penyangga
adalah kawasan hutan lindung. Keberadaan usaha akomodasi yang melebih batas
yang diperkenankan telah menurunkan daya dukung lingkungan Gili Trawangan,
berdampak buruk bagi keseimbangan
ekosistem yang ada.
Dalam
tujuan fisik pengembangan pariwisata di NTB tercantum bahwa kepastian dan
kesesuaian tata guna tanah yang diperuntukkan bagi pengembangan obyekobyek
pariwisata, yang dapat diartikan bahwa seluruh tata guna lahan pada Resort
Pariwisata Gili Trawangan agar disusun sedemikian rupa sehingga pengembangan
Resort Pariwisata Gili Trawangan dapat terus berkesinambungan tanpa merusak
kelestarian alam aslinya. Untuk menindaklanjutinya kemudian disusun Surat
Keputusan Gubernur Dati I NTB No 500 tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang
Resort Pariwisata Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan, yang sudah memuat peta
tata ruang resort pariwisata Gili Trawangan, termasuk tata guna lahannya. Namun
keberadaan Rencana Tata Ruang tadi tak lebih dari sekedar peta tata ruang
wilayah peruntukkan resort pariwisata Gili Trawangan, karena pada kenyataannya
penataan dan pengembangan resort pariwisata Gili Trawangan telah menyimpang
dari apa yang telah direncanakan, terutama pada zonasi wilayah peruntukkan
akomodasi dan persyaratannya.
Dalam
tujuan Peraturan Daerah Propinsi Dati I NTB No 9 Tahun 1989 tertulis agar
memelihara keseimbangan lingkungan hidup yang serasi dan aman, yang dapat
diartikan sebagai larangan untuk mengambil atau memindahkan pasir pantai serta
segala macam kekayaan laut untuk keperluan apapun, serta larangan untuk
mengotori pantai dengan berbagai macam limbah. Namun, karena kurang
terkontrolnya aktifitas yang dilakukan wisatawan serta warga setempat ternyata
telah mendatangkan kerusakan lingkungan baik daratan maupun wilayah perairan.
Masih terkait dengan banyaknya usaha-usaha akomodasi yang ada di Gili Trawangan
ternyata telah menyebabkan kerusakan lingkungan, baik itu daratan maupun
perairan. Pengunjung yang menginap di usaha-usaha akomodasi tadi secara illegal
mengambil kekayaan alam yang ada di lingkungan tersebut untuk dijadikan
cinderamata. Bahkan masyarakat setempat-pun ikut mengumpulkan kekayaan alam
yang berada di dalam lingkungannya untuk kemudian dijual kepada pengunjung
sebagai cinderamata. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan bagi mereka untuk
melakukannya dan kurangnya kesadaran penduduk serta wisatawan yang datang untuk
ikut menjaga dan melestarikan lingkungan tempat tinggal mereka. Semua
penyimpangan yang terjadi di Gili Trawangan bermula ketika tidak ditaatinya
zonasi dan persyaratan bagi wilayah peruntukkan akomodasi di Gili Trawangan, penyimpangan
ini saling tarik menarik satu sama lain, penyimpangan yang satu menarik
penyimpangan yang lain, yang pada akhirnya kesemuanya menyebabkan menurunnya
kualitas lingkungan Resort Pariwisata Gili Trawangan.
4. Deskripsi Kasus Komodifikasi Kebudayaan
Salah satu
contoh Komodifikasi Kebudayaan yang terjadi di PulauLombok adalah Komodifikasi
Pura Batu Bolong demi kegiatan pariwisata. Pura Batu Bolong terletak di wilayah
Pantai Senggigi Kabupaten Lombok Barat, saat ini Pura Batu Bolong sangat
dinikmati oleh para wisatawan karena keunikan maupun pemandangan alam di
sekitas pura tersebut. Seperti namanya Pura Batu Bolong terletak di atas batu
hitam Pantai Senggigi yang memiliki lubang atau lubang di tengah. Dengan
posisinya yang mengarah ke laut, pura ini memiliki suasana keindahan
tersendiri, sekilas Pura Batu Bolong ini akan mengingatkan kita pada Pura Tanah
Lot yang ada di Bali, bangunan ibadah yang terletak di bibir pantai dengan
posisi mengarah ke laut.
Komodifikasi Pura Batu Bolong dalam konteks pariwisata
menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam terkait dengan sosial
budaya dan segala aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik lokal maupun asing sebagai konsumen
telah membawa pengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat. Pura Batu Bolong
sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Hal tersebut memunculkan budaya konsumerisme dan kapitalisme yang dapat
menimbulkan komodifikasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Para kapitalis
menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan dan
ranah kebudayaan, termasuk pusaka budaya Pura Batu Bolong.
Saat ini Pura Batu Bolong telah
keluar dari kesakralanya karena banyaknya para wisatawan yang berkunjung di
pura ini tanpa memperhatikan tata krama, etika, maupun sikap yang baik pada
saat mengunjungi Pura ini, pada saat masuk di Pura tersebut, wisatawan tidak
menggunakan pakaian yang sopan layaknya memasuki tempat-tempat ibadah pada
umumnya, wisatawan bebas saja memasuki wilayah Pura dengan Menggunakan celana
pendek maupun membuang sampah semabarangan di sekitar Pura. Pura Batu Bolong
telah menjadi sebuah komoditas dengan tujuan untuk dijual ke pasar, sehingga
mengakibatkan Pura tersebut telah keluar dari kesakralannya sebagai tempat
ibadah.
5. Deskripsi Dampak Kapitalisasi Lingkungan
Dampaknya
terhadap lingkungan adalah degradasi fungsi dan manfaat hutan
dan lahan, serta terjadinya banjir dan hilangnya
keanekaragaman hayati yang menjadi kekhasan wilayah tersebut. Dampak lain
misalnya berimbas pada daerah resapan air yang mempengaruhi kualitas air
minum bahkan kekeringan.
6. Deskripsi Dampak Komodifikasi Kebudayaan
a.
Dampak Positif
-
Meningkatnya lapangan kerja
-
Meningkatkanya lapangan usaha
-
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat
-
Mendorong pertumbuhan sektor perdagangan
masyarakat
-
Pendapatan daerah meningkat
-
Pelestarian budaya-budaya masyarakat lokal,
seperti kegiatan keagamaan, adat-istiadat dan tradisi,
-
Diterimanya pengembangan objek wisata dan
kedatangan wisatawan olehmasyarakat lokal.
-
Wawasan dan cara pandang masyarakat lebih
terbuka
b.
Dampak Negatif
Komersialisasi
tempat suci sehingga
terjadi pergeseran nilai-nilai
tradisi dan pencemaran kesucian tempat suci Pudarnya identitas dan nilai
sejarah Masyarakat menjadi Konsumerisme dan materialistis (komersial) sehingga
nilai-nilai kekeluargaan dan keakraban menjadi hilang dan terkorbankan. Selain
itu, Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993) muncul karena industri
pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu: Wisatawan, Masyarakat setempat, dan Hubungan wisatawan dan masyarakat.
Dampak
sosial budaya muncul apabila terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat
ketika (1) wisatawan membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai
tuntutan-tuntutan sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan
yang informal dan pengusaha pariwisata mengubah sikap spontanitas masyarakat
menjadi transaksi komersial, dan (3) wisatawan dan masyarakat bertatap muka dan
bertukar informasi atau ide, menyebabkan munculnya ide-ide baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar